Jumat 19 Jan 2018 22:10 WIB

BPOM-ITS Kerja Sama Tingkatkan Pengawasan Obat dan Makanan

Keduanya sepakat riset yang dikembangkan oleh ITS digunakan untuk membantu BPOM

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Foto: wikipedia
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dalam upaya meningkatkan pengawasan peredaran obat dan makanan di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjalin kerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Kerjasama ini ditandai penandatanganan nota kesepahaman oleh Rektor ITS Joni Hermana dengan Kepala BPOM RI Penny Kusumastuti Lukito di Rektorat ITS, Jumat (19/1).

Penny menyatakan, kerjasama tersebut penting dilakukan untuk memperkuat penanganan permasalahan dan tantangan yang dihadapi BPOM. Utamanya dalam pengawasan mutu obat dan pangan masyarakat Indonesia.

"BPOM terus menjalin kemitraan dengan berbagai instansi masyarakat, salah satunya adalah perguruan tinggi yang menjadi pusat pengetahuan dan pengembangan teknologi," kata Penny dalam acara tersebut.

Kerja sama tersebut menyepakati riset-riset yang dikembangkan oleh ITS digunakan untuk membantu BPOM dalam melaksanakan kinerjanya. Salah satunya di ITS terdapat Pusat Kajian Halal yang menjadi daya tarik BPOM. ITS juga sedang mengembangkan kapal yang siap membantu BPOM dalam menjalankan tugasnya di seluruh wilayah Indonesia.

Kapal yang dikembangkan oleh ITS ini nantinya digunakan membantu dalam mengawasi pengiriman obat dan makanan di daerah perbatasan. Tentunya untuk mengantisipasi adanya barang yang illegal atau tidak ada jaminan keamanannya bagi masyarakat, ujar Penny.

Rrktor ITS Joni Hermana pun menyambut baik ajakan kerja sama tersebut. Apalagi kerja sama yang dijalin sangat erat kaitannya dengan adanya Pusat Kajian Halal di ITS. Joni kemudian memaparkan, Indonesia sebagai negara dengan penduduk yang sebagian besar beragama Islam, status kehalalan makanan masih belum jelas.

"Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan negara yang justru mayoritas penduduknya nonmuslim seperti Australia dan Singapura," ujar Joni.

Selain itu, jika dibandingkan Turki, harga obat di Indonesia ini bisa tiga kali lipat lebih mahal. Itu dikarenakan terlalu banyak agen yang dilewati sebelum jatuh ke tangan konsumen terakhir. Maka dari itu, penandatanganan kerja sama itu diharapkan mampu menghadirkan solusi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement