Ahad 18 Jun 2017 18:55 WIB

35 Ribu Dosen Masih Lulusan S1/D3

Rep: Kabul Astuti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Dosen yang sedang mengajar para mahasiswa (ilustrasi)
Foto: theguardian.com
Dosen yang sedang mengajar para mahasiswa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyebut Indonesia mengalami krisis dosen. Menurut data Kemristekdikti, masih ada 34.933 dosen lulusan S1, padahal syarat minimal dosen harus berpendidikan S2.

Untuk jenjang S3, tercatat ada 25.394 dosen dari jumlah ideal 30 ribu. Jumlah profesor juga baru 5.389 orang. Kondisi yang sama dialami oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengungkapkan banyak masalah berkelindan yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis dosen.

Budi mengakui banyak PTS yang belum memiliki grand desain untuk melaksanakan pendidikan tinggi. Menurut Budi, bahkan pemerintah belum mempersiapkan sumber daya tenaga pengajar di perguruan tinggi dengan memadai.

Pada zaman dulu juga tidak ada tugas yang disertakan terhadap para dosen. Mereka tidak memiliki kewajiban meneliti dan melakukan pengabdian masyarakat, hanya mengajar saja.

"Dulu persyaratan untuk mendirikan perguruan tinggi tidak ketat. Artinya, mereka bisa pinjam. Kemudian ini kan dibiarkan berlarut-larut. Akhirnya satu dosen dipakai di beberapa perguruan tinggi. Awalnya begitu," kata Budi, kepada Republika.co.id, Ahad (18/6).

Ketika UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan, banyak pihak tersentak. Undang-undang tersebut mewajibkan dosen yang mengajar S1, D3 dan D4, minimal menempuh jenjang pendidikan S2. Sementara, di lapangan masih banyak lulusan S1 dan D3 yang mengajar. Budi mengungkapkan, kebijakan pemerintah pada saat itu tidak disertai dengan kebijakan teknis.

Kebijakan teknis yang dimaksud Budi, misalnya dalam bentuk pembukaan S2 dan S3 di berbagai universitas. Kondisi itu berbeda dengan negara-negara lain, misalnya Malaysia. Budi menuturkan, saat Malaysia menerapkan kebijakan serupa, pemerintah melakukan pembukaan S2 dan S3 dimana-mana. Banyak perguruan tinggi diberikan mandat untuk membuka pendidikan S2 dan S3.

"Peraturan kita tidak berlaku semacam itu sehingga kalau sekarang kita krisis ini diakibatkan kebijakan-kebijakan yang salah juga. Seandainya pemerintah sigap melakukan pembukaan S2 di berbagai titik itu akan cepat menyelesaikan," ujar Budi.

Budi menambahkan saat ini pemerintah mengeluarkan program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) yang memberi kesempatan bagi dosen untuk menyetarakan dengan kualifikasi tertentu berdasarkan pendidikan atau pengalaman kerja. Tapi, menurut Budi, program RPL juga tidak menyelesaikan masalah.

Alasannya, Budi mengatakan, program ini hanya menyetarakan dosen berpendidikan S1 yang sudah mengajar sekian puluh tahun bisa ditetapkan setara dengan S2. Secara teknis mereka banyak memdapat pengalaman, tapi dari sisi ilmu pengetahuan tidak bertambah karena tidak bersekolah. Ia berpendapat, pemerintah tidak mempersiapkan kebijakan teknis dengan baik.

"Dulu mereka memperbolehkan pegawai negeri atau BUMN bisa menjadi dosen, begitu ditetapkan aturan tidak boleh merangkap pegawai negeri jadi dosen maka kelabakan. Akhirnya, rasio pengajar itu berkurang. Ini mengakibatkan krisis," lanjut Budi. Sisi positifnya, menurut Budi, kondisi ini memacu PTS untuk mau menyekolahkan para tenaga pengajarnya.

Menurut Budi, Kemristekdikti sudah menggelontorkan beberapa skema beasiswa untuk dosen, baik beasiswa dalam maupun luar negeri. Tapi, menurutnya daya serap beasiswa ke luar negeri masih rendah. Sebaran lokasi S2 di luar Jawa juga belum merata. Para dosen di Papua, Kalimantan, dan Makasar, harus mengambil S2 di Jawa sehingga mereka harus meninggalkan anak didik.

Budi menyatakan tidak ada kuota beasiswa yang diperuntukkan bagi dosen PTS. Kuota beasiswa yang ada harus diperebutkan bersama antara PTN dan PTS. Alhasil, banyak dosen PTS tersisih. Budi mengakui secara umum dosen dari PTN banyak yang lebih siap melanjutkan pendidikan S2 dan S3 daripada dosen PTS.

Jika kondisi ini terus berlarut-larut, Budi khawatir akan menghambat perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Ia menegaskan dosen merupakan instrumen penting dalam aktivitas belajar di pendidikan tinggi. Kapasitas dosen sangat menentukan tingkat kepercayaan dosen terhadap perguruan tinggi.

Ketua Aptisi ini mendorong PTS-PTS kecil untuk melakukan merger. Dari total 250 ribu dosen Indonesia, Budi mencatat masih ada sekitar 35 ribu dosen yang berpendidikan S1/D3. Tak kurang dari lima persen atau sekitar 2000 dosen masih berpendidikan D3. "Terutama di bidang kesehatan itu memang kurang sekali," ujar Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement