Senin 28 Jun 2010 22:15 WIB

Kisah Miris Guru Bantu di Pedalaman Gorontalo

Sekolah di pedalaman, ilustrasi
Foto: www.wahyu.com
Sekolah di pedalaman, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Satu jam sudah Sri Utami berada di gubuk itu. Dia sedang menanti hujan reda. Dengan terpaksa, dia harus singgah di gubuk itu agar tak basah kuyup saat menjumpai murid-muridnya di pedalaman Boalemo, Gorontalo.

Saat hujan turun, dia baru saja berjalan kaki sekitar satu kilometer. Masih ada tiga kilometer perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai yang menantinya untuk diseberangi. Gubuk beratap rumbia dan tanpa tempat duduk itu, selalu menjadi penolong saat dia kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, dia juga berteduh bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.

Sri Utami adalah seorang guru yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi musuhnya. Dia terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur. ''Ini sepatu saya satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba,'' ujarnya wanita berjilbab itu tersenyum.

Mengenakan blus motif bunga berwarna biru, rok hitam yang mulai pudar serta jilbab usangnya, wanita asli Surabaya, Jawa Timur itu terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan. Jangankan untuk beli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup.

Putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. ''Itupun dia bisa sekolah karena biayanya hasil patungan sanak saudara di sana. Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang,'' lirihnya.

Gaji dua ratus lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan, hanya habis untuk makan. Dia dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa menghasilkan banyak uang. Dia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik, saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.

Bersama suaminya, Sri menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo pada tahun 2009. Meski di daerah terpencil, dia tetap ingin menjadi guru abdi. Baginya, mengajar adalah nadinya. Pernah dia berpikir dan mencoba untuk berhenti saja jadi guru dan terjun menjadi buruh tani. Namun, sehari pun dia tak bisa melakukannya. Dia terlanjur cinta pada dunia pendidikan.

Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Dia tak boleh menyia-nyiakan ilmunya. Kegigihan Sri sebagai guru abdi, menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.

Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya terenyuh setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya. ''Saya sibuk mengajar, sedangkan anak saya tak bisa sekolah,'' ucapnya lirih.

Di usianya yang kini menginjak empat puluh enam tahun, membuat harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil tertutup sudah. Pipinya yang kurus kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Harapan agar gajinya kelak akan layak. Harapan agar nasib putranya tak berakhir di ladang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement