Senin 11 Apr 2011 18:16 WIB

Anggap Saja Ujian Nasional seperti Ulangan Harian

Rep: c02/ Red: Krisman Purwoko
Ujian Nasional
Ujian Nasional

REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK—Kecemasan merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri. Rasa cemas itu pasti ada dalam diri setiap manusia, hanya saja besarnya bergantung pada setiap orang.

Kecemasan siswa-siswi menjelang Ujian Nasional (UN) merupakan hal yang lumrah. Hal ini karena mereka belum pernah merasakan UN di tingkat tersebut sebelumnya. Mereka disarankan untuk merepresi rasa cemas itu dengan menganggap UN merupakan ujian biasa yang sering mereka lakukan di kelas.

“Anggap saja UN itu hal yang sudah sering mereka lakukan seperti ulangan harian. Hanya saja kalau ulangan soal-soal dari guru, sedangkan UN soal-soal diberi oleh tim lain,“ ujar psikolog pendidikan Universitas Indonesia (UI), Gagan Hartana, Senin (11/4).

Peran orangtua dan guru menjadi penting di sini. Orangtua hendaknya menenangkan mereka dan mendukung mereka dalam pelaksanaan UN. Guru pun juga jangan menakut-nakuti siswa dengan nilai UN.

Gagan berpendapat, nilai itu adalah angka yang berfungsi sebagai indikator kemampuan dan kompetensi siswa di sekolah. Angka ini menjadi patokan sampai mana siswa dapat memahami sesuatu, atau sudah sebanyak apa hal yang ia dapatkan dan pahami.

Gagan mencontohkan dengan seseorang yang bisa berlari sepanjang 100 meter dalam 15 menit. Artinya, ia berlari dengan kecepatan 100 meter per 15 menit. Hal tersebut adalah hal yang konkrit. Contoh lain, seorang anak memperoleh angka 8 pada pelajaran bahasa di rapornya setiap semester. Tetapi apa yang sudah ia hasilkan untuk memperoleh nilai itu?

“Nilai tersebut tidak menggambarkan kemampuan apapun dari siswa. Memberikan nilai merupakan hal yang samar. Dengan angka itu seharusnya dilihat apa yang sudah mereka dapatkan dalam sebuah kompetensi. Hal yang seharusnya diperhatikan adalah kompetensi dibalik angka tersebut, bukan angka itu sendiri,“ tambah Gagan.

Tidak dapat dipungkiri, UN merupakan hal yang penting untuk melihat kemampuan siswa. Kelulusan bukanlah hal yang utama, akan tetapi dengan adanya UN dapat dilihat seberapa mampu siswa setelah ia belajar selama 3 tahun di sekolah.

Indikator kelulusan ini harus diketahui oleh semua orang, termasuk oleh para guru yang mengajar. Hal ini bertujuan agar mereka dapat mempersiapkan siswa untuk mencapai kompetensi tersebut. Jangan sampai mereka tidak mengetahui indikator ini sehingga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mencapainya.

Dengan lima jenis soal yang nanti akan dikerjakan oleh siswa dalam satu kelas akan memperkecil kemungkinan siswa untuk bisa mencontek hasil kerja teman di kelasnya. Kegiatan ini menurut Gagan menjadi kompetensi komunitas. “Ada hal yang sering kita lupakan. Pendidikan itu adalah individual. Setiap orang berkompetensi untuk dirinya sendiri, termasuk ujian. Kalau mencontek, artinya akan menjadi kompetensi komunitas,“ tandasnya.

Namun ia tidak melarang siswa-siswi untuk mencontek. Akan tetapi hal ini bukan bertujuan untuk hal yang negatif. Mereka boleh mencontek, kata Gagan, asalkan untuk mengembangkan diri mereka. setelah mencontek, mereka membandingkan hasil mereka dan temannya. Ini bisa dijadikan sebagai koreksi untuk mereka. Salahnya di mana, kenapa teman bisa benar, dan apa yang harus dikoreksi.

Persiapan siswa-siswi menjelang UN saat ini dirasa cukup bagus. Dengan banyak mengolah soal mereka dapat mengasah kemampuan mereka sebelum UN. Mereka juga banyak bergabung dengan bimbingan belajar (bimbel) untuk lebih mendalami pelajaran yang akan diujikan.

Akan tetapi, Gagan berpendapat bahwa keberadaan bimbel ini merupakan indikator kegagalan kurikulum. Seharusnya para guru justru lebih bisa membimbing murid-murid mereka baik menjelang UN ataupun dalam pelajaran sehari-hari. “Bimbel itu kan remediasi buat anak-anak yang tertinggal pelajarannya,“ kata dia.

[removed]// 5) { sendMessage("gtbTranslateLibReady", {"gtbTranslateError" : true}); return; } setTimeout(checkLibReady, 100);}gtbTranslateOnElementLoaded = function () { lib = google.translate.TranslateService({}); sendMessage("{EVT_LOADED}", {}, []); var data = document.getElementById("gtbTranslateElementCode"); data.addEventListener("gtbTranslate", onTranslateRequest, true); data.addEventListener("gtbTranslateCheckReady", onCheckReady, true); data.addEventListener("gtbTranslateRevert", onRevert, true); checkLibReady();};function onCheckReady() { var ready = lib.isAvailable(); sendMessage("gtbTranslateLibReady", {"gtbTranslateError" : !ready});}function onTranslateRequest() { var data = document.getElementById("gtbTranslateElementCode"); var orig = data.getAttribute("gtbOriginalLang"); var target = data.getAttribute("gtbTargetLang"); lib.translatePage(orig, target, onProgress);}function onProgress(progress, opt_finished, opt_error) { sendMessage("gtbTranslateOnProgress", {"gtbTranslateProgress" : progress, "gtbTranslateFinished" : opt_finished, "gtbTranslateError" : opt_error});}function onRevert() { lib.restore();}})(); (function(){var d=window,e=document;function f(b){var a=e.getElementsByTagName("head")[0];a||(a=e.body[removed].appendChild(e.createElement("head")));a.appendChild(b)}function _loadJs(b){var a=e.createElement("script");a.type="text/javascript";a.charset="UTF-8";a.src=b;f(a)}function _loadCss(b){var a=e.createElement("link");a.type="text/css";a.rel="stylesheet";a.charset="UTF-8";a.href=b;f(a)}function _isNS(b){b=b.split(".");for(var a=d,c=0;c[removed]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement