Ahad 13 Jul 2014 20:57 WIB

Inilah Skema Perubahan Pemberitaan TV Selama Pilpres

Rep: C54/ Red: Citra Listya Rini
Metro TV
Metro TV

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu studi menarik dirilis oleh kelompok pemantau penyiaran publik, Remotivi, menyoroti tren perubahan garis pemberitaan stasiun televisi selama berlangsungnya pemilu presiden. Dari penelitian terserbut terpetakan skema perubahan arah pemberitaan.

Koordinator Remotivi Haikal, menggambarkan dalam studi mereka tanggal 1 hingga 7 November 2013, frekuensi pemberitaan Joko Widodo di Metro TV hanya 12 persen. Sedangkan sang pemilik Surya Paloh diberitakan sebesar 20,5 persen. 

"Semua berubah ketika PDIP berkoalisi dengan Nasdem. Pada 1 hingga 7 Mei 2014 pemberitaan Jokowi melonjak jadi 74 persen, dengan nada positif sebesar 31,5 persen. Pemberitaan terkait Prabowo sebesar 12 persen, dengan nada pemberitaan negatif sebesar 22 persn," kata Haikal berbicara dalam konfrensi pers yang digelar Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) di Jakarta, Ahad (13/7).

Haikal melanjutkan, perubahan juga terjadi pada pemberitaan TV One dan ANTV setelah pemiliknya, Aburizal Bakrie (Ical) membawa Parati Golkar yang dia pimpin menyokong Prabowo-Hatta. Menurut Haikal, dalam studi kelompoknya pada 1 hingga 7 Mei, sebelumnya Ical yang santer diberitakan kedua media tersebut. TV One memberitakan Ical sebesar 39 persen, dan ANTV mengangkat berita seputar Ical sebesar 50 persen. 

"Setelah koalisi Golkar dengan Gerindra, penelitian pada 19 Mei, pemberitaan Prabowo menjadi 52 persen dari sebelumnya tidak ada, begitu juga dengan iklan politiknya yang meningkat drastis menjadi 62 persen, dari sebelumnya nol. Di ANTV, berita Prabowo meningkat dari 20 persen menjadi 32 persen" kata Haikal. 

Dipaparkan Haikal, kondisi serupa terjadi pada pemberitaan MNC Group, yang mencakup RCTI, Global TV dan MNC TV. Haikal mencontohkan, pada 1 hingga 7 Mei 2014, RCTI memiliki 7 berita tentang Prabowo, dan semuanya bernada negatif.  

"Pasca Hary Tanoe bergabung dengan Prabowo pada 22 Mei, pemberitaan Prabowo menjadi 41 persen dan 100 persen bernada positif," ujar Haikal.

Menurut Haikal, para pemilik media telah membajak frekwensi publik untuk kepentingan golongannya sendiri. "Mereka hanya melihat rakyat sebagai konsumen demi rating dan keuntungan. Padahal publik adalah warga negara dan pemilik yang sah atas frekwensi publik," kata Haikal.  

Terkait dengan kondisi penyiaran yang karut-marut dan tidak optimalnya peran pemerintah sebagai regulator, KIDP menyampaikan akan segera menggugat pemrintah. Mereka menilai pemerintah dalam hal ini Kementrian Informasi dan Telekomunikasi (Kominfo) melanggar UU Penyiaran (32/2002) dengan membiarkan terjadinya praktik oligarki media. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement