Rabu 18 Jul 2018 13:11 WIB

Buya Hamka dan Makna Merdeka

Hamka teringat nyanyian seorang biduan di sebuah hotel di Malaga.

Foto Buya Hamka dalam buku Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983).
Foto: Dok Republika
Foto Buya Hamka dalam buku Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*

 

Pesawat yang membawa Buya Hamka dalam lawatan ke Spanyol pun mendarat di Malaga. Dari Malaga, Buya Hamka melanjutkan perjalanan udara sekali lagi agar tiba di kota tujuan, Sevilla. Karena tidak tahu gerbang yang mana menuju Sevilla, Buya Hamka bertanya pada petugas. Ia pun menyebutkan kota Sevilla dengan pelafalan sebagaimana tertulis: S-E-V-I-L-L-A.

Tidak hanya informasi gerbang yang mesti dimasuki, jawaban sang petugas menggelitik pengetahuan Buya Hamka. Si petugas yang menjawab dalam bahasa Spanyol bercampur Inggris menyebut kota tujuan Buya Hamka itu dengan ‘Asybilia’. Bagi Buya Hamka, lafal ini tak asing karena dalam bahasa dan huruf Arab pun ia mengejanya dengan ‘Asybiliah’. Lebih muda bagi sosok yang terbiasa mendaras Alquran dan bisa bercakap bahasa Arab seperti halnya Buya Hamka.

Buya Hamka lantas teringat kejadian beberapa jam sebelumnya tatkala ia masih bermalam di sebuah hotel di Malaga. Didengarnya nyanyian seorang biduan perempuan di hotel. Tak asing ia mendengar suara itu.

“Apakah ini Ummi Kultsum yang bernyanyi padang pasir Arabia dalam bahasa Spanyol, atau gadis Spanyol yang bernyanyi melagukan lagu Spanyol dalam langgam Arab?” tanyanya dalam hati. 

Belakangan, informasi yang sebenarnya didapat. Yang diperdengarkan di hotel itu memang kesenian Arabia yang indah; dibuat di Spanyol dan ditinggalkan sebagai pusaka di tanah yang oleh orang Arab dinamai “Al-Firdausi Mafqud”, Surga yang Hilang. Belakangan, dalam kesempatan berbeda, saat muhibah ke Maroko, Buya Hamka mendapati musik setempat yang dinamakan “Andalusia” melagukan tembang serupa saat ia berada di hotel Malaga.

Sebagai peminat sejarah, Buya Hamka tak meninggalkan kesempatan menelusuri jejak bangunan Andalusia. Ihwal seni bangunan Andalusia dapat dipastikan bakal memesona sesiapa yang datang mengunjunginya. Pada 1968, Buya Hamka berbincang dengan budayawan Asroel Sani. Sang budayawan ini terkagum-kagum dengan seni bangunan warisan Islam di Spanyol, baik Masjid Jami di Cordova maupun istana Alhambra di Granada. Di bekas bangunan masjid Cordova itu kini didirikan lima gereja.

“Dapatlah dibandingkan betapa besar jumlah kaum Muslimin di Cordova pada aman kejayaan Islam itu, jika dibandingkan dengan Kristen sekarang, yang dalam masjid bekas Islam itu terdapat lima gereja,” ungkap Buya Hamka.

Dalam Simposium Budaya Islam yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1988, Buya Hamka menyinggung kemajuan seni bangunan Islam di pelbagai negeri. Tak terkecuali di tanah kelahirannya, Minangkabau.

Buya Hamka mengutip buku Prof Kemal CP Wolff Schoemaker yang berjudul Cultuur Islam (1937) bahwa seni bangunan (atap) masjid di Minangkabau—sebagaimana banyak didapati di tempat lain di Nusantara—tersusun dari tiga tingkat (pelambang tarikat-hakikat-makrifat), dengan puncak melurus ke atas melambangkan tauhid. Di Minangkabau, dijumpai pula masjid beratap susun lima, dan ini hanya ditemukan pada satu tempat, yakni di Masjid Lima Kaum di dekat Batu Sangkar. Sejarah masjid ini bertali erat dengan pedoman yang kemudian dikenal luas: adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.

Muhibah demi muhibah yang dilakukan Buya Hamka merangsang pikirannya untuk menjelajah keagungan Islam. Dalam keunikan budaya lokal yang menerima Islam, keagungan agama yang dibawa Nabi Muhammad tetap superior, dalam arti mengikat dan menyatukan semua perbedaan yang ada di tiap tempat.

Dalam cerita di Malaga, Buya Hamka yang menyampaikan dalam satu syarahan di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta pada 30 September 1975, keunggulan Islam.

“Sekarang kita bertanya: Ajaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sehingga secepat itu Islam dapat membawa revolusi besar kepada dunia? Ajaran apa yang dibawa Muhammad sehingga sampai terjadi orang Arab dapat mengalahkan dua kerajaan besar di barat Byzantium atau Romawi, di Timur Persia atau Iran?” Ujar Buya Hamka sebagaimana direkam ulang dalam naskah ceramah yang dibukukan dengan judul Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983).

Masih dalam ceramah yang sama, Buya Hamka meneruskan, “Ajaran apa? Opium atau candu apa yang diminumkan Muhammad kepada pengikutnya sehingga mereka jadi begitu berani menghadang maut? Apa yang mereka pertahankan?”

“Ajaran itu sederhana saja kalau diperbincangkan, tetapi mendalam kalau dipikirkan. Pokok ajaran Muhammad itu ialah kata sederhana yang kita pakai tiap hari, yaitu Islam. Kalimat Islam itu bahasa Arab yang berarti menyerahkan diri sepenuhnya untuk kepentingan Tuhan, sesudah mengetahui siapa Tuhan. Tuhan itu ialah Zat Mahakuasa yang Mencipta alam, yang hanya kepada-Nya saja kita harus tunduk.”

“Nabi Muhammad telah memberikan suatu ajaran kepada pengikutnya bernama iman. Dengan sebab iman itu yang memegangnya jadi merdeka, tidak ada alam yang dapat membatasinya dan tidak ada yang dapat mengikatnya. Ajaran ini membuat mereka bebas dari keinginan, ambisi, tamak dan loba, hawa dan nafsu. Karena semuanya inilah yang selalu menjatuhkan manusia ke dalam perbudakan. Ajaran Nabi membawa roh itu naik tinggi lalu menggabungkan diri ke dalam kelompok Rabbani, secara harfiah artinya ialah keluarga Tuhan. Kelompok inilah yang selalu mengganti kehendak sendiri dengan kehendak Tuhan,” terang Buya Hamka.    

Oleh karena itulah, bagi Buya Hamka, hakikat kemerdekaan sebenarnya tidak lain “memperhambakan diri atau mengakui diri jadi budak Kebenaran.” Tidak ada yang boleh memperbudak seorang Muslim, selain Allah. Inilah yang melecut satu keberanian Muslimin pada masa kejayaan sehingga hadir pelbagai kreasi peradaban unik sebagaimana bisa disaksikan sebagian sisa-sisanya di beberapa bekas pusat kekuasaan Islam, semisal di Andalusia.

Cara membaca fenomena zaman, yang kemudian hadirkan satu visi, seperti dicontohkan Buya Hamka di atas sungguh relevan bagi kita sekarang tatkala ada sebagian Muslim di tanah air terkesan ingin mensuperiorkan diri dengan keislaman bercorak lokal. Aspek-aspek ekspresi ibadah Muslim setempat diagung-agungkan, lalu digaungkan sebagai identitas yang melampaui kesatuan dalam konsepsi ummah.

Pembacaan sejarah dan realita zaman ala kalangan semacam ini bertolak belakang dengan bersahajanya Buya Hamka mengarifi konsepsi kemerdekaan dan keberanian dalam Islam seperti di atas. Akan tetapi, cara pembacaan demikian jauh lebih produktif dan mencerahkan ketimbang berbangga diri dengan slogan seperti Islam Nusantara. Sayangnya, cara membaca kalangan yang disebut belakangan itu sering tidak konsisten, parsial, dan tidak ilmiah.

Repotnya, pembacaan yang diindikasi bermuatan proyek politik itu senantiasa umbarkan kata nasionalis. Bandingkan dengan cara Buya Hamka yang membaca tanpa ribet dengan memikirkan kelokalan sebagai terunggul dan pembeda dengan Islam kawasan lain. Bandingkan pula bagaimana ekspresi nasionalisme beliau dengan kalangan tersebut. Menarik kiranya kisah perjalanan Buya Hamka bersua Shah Iran, sebagaimana diceritakan jurnalis Jasli Josan untuk buku Perjalanan Terakhir Buya Hamka (1982).

Sebagai rakyat biasa, suatu kehormatan tatkala Buya Hamka duduk bersebelahan dengan sang Shah.

“Bayangkan sajalah, seorang raja diraja dari sebuah negeri yang tua yang kuat tradisinya, duduk berdampingan dengan urang surau seperti Hamka. Karena semangat Islamlah yang memungkinkan hal itu terjadi.”

Hadirin terbahak-bahak mendengarkan ucapan Buya Hamka itu, tulis Jasli Josan. Waktu ke Iran, sebenarnya Buya Hamka tengah sakit kaki.

“Maka dengan didampingi Shah Iran, dengan menengkak-nengkak saya pun memeriksa barisan kehormatan. Pada waktu itu saya merasa bangga menjadi seorang bangsa Indonesia yang merdeka. Melihat bendera merah putih berkibar balinai air mati.” Jelas kelihatan, selain seorang Muslim yang taat, Hamka juga seorang nasionalis tulen, tanggap Jasli Josan.

Begitulah seorang besar dan berlaku adil memperlakukan diri dan masa lalu. Tidak jumawa dengan perbedaan yang potensial membawa pada kebesaran diri atau kelompok. Bila ini yang diperbuat, pertanda ada keterjajahan pada hawa nafsu. Jadi, membeda-beda diri Muslim dengan sebutan untuk berbangga-bangga padahal tidak ilmiah dan didukung nash, hanya membuang waktu hidup dari kerja-kerja kebajikan bagi peradaban.

Tanpa berbusa-busa membeda diri sebagai wakil Islam kawasan tertentu, Buya Hamka malah temukan indahnya ukhuwah, persatuan ummah, dan nasionalisme yang tak sempit di dada. Islam Nusantara, Islam Spanyol, Islam Maroko, Islam Arab, dan semacam itu, dengan demikian hanya impian semu orang yang belum merdeka dari ideologi sempit. Dan itu bukan pula sebentuk keberanian. Sudah tentu, ini bukan ruh doktrin Islam.      

*Pustakawan, penulis buku "Mufakat Firasat" dan "Panggilan Bersatu"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement