Kamis 12 Jul 2018 01:07 WIB

Otonomi Kampus Jadi Jalan Masuk Radikalisme

Sulit bagi pimpinan PT mengontrol para dosen dan mahasiswa untuk tidak terkontaminasi

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, salah satu faktor penyebab banyaknya sivitas kampus yang terpengaruh radikalisme adalah otonomi kampus, kebebasan akademis dan kebebasan sosial di perguruan tinggi yang memberikan ruang besar bagi penyebaran berbagai paham, termasuk paham dan ideologi radikal. Dengan kebebasan akademis tersebut, sulit bagi pimpinan PT mengontrol para dosen dan mahasiswa mereka untuk tidak terkontaminasi radikalisme.

"Karena itu, kampus sebagai ranah publik tidak imun terhadap berbagai pengaruh dan infiltrasi paham, wacana dan gerakan dari luar. Lingkungan kampus hampir selalu menjadi target khusus bagi kelompok radikal dan ektrim, baik ekstrim kanan maupun kiri," jelas Azyumardi dalam sebuah diskusi di Graha Cimb Niaga Sudirman, Jakarta, Selasa (7/10).

Secara historis, kata dia, sejak akhir tahun 1970-an, sel dan kelompok kanan sangat giat melakukan rekrutmen di kampus dan membentuk kelompok dan sel yang lazim dikenal sebagai usrah (keluarga). Kemudian, lanjut Azyumardi, di bawah pimpinan amir (pemimpin) mereka menolak keabsahan pemerintah Soeharto yang mereka sebut sebagia 'thaghut'.

"Penolakan itu secara simbolik mereka lakukan misalnya dengan membakar KTP. menikah lewat wali amir mereka tanpa melalui Kantor Urusan Agama (KUA)," jelas dia.

Selain itu, menurut Azyumardi, ketika zaman kebebasan dan demokrasi pasca-Soeharto juga telah membukakan ruang yang sangat luas bagi berbagai kelompok dengan orientasi ideologis ekstrim kanan dan kiri beroperasi di kampus. Namun, kelompok kiri tidak mampu bertahan lama. Sehingga meninggalkan ruang amat besar bagi kelompok dan sel radikal Islam yang berorientasi trans-nasional.

"Kalangan kelompok dan sel radikal dengan pemahaman agama yang jauh berbeda dengan arus utama Islam Indonesai segera terjerumus ke dalam pelanggaran hukum sejak dari penculikan, pencurian, perampokan dan terorisme," ungkap dia.

Sementara itu, dia menyatakan, radikalisme yang bersumber dari paham dan ideologi religio-politik dawlah Islamiyah atau khilafah yang berkembang di perguruan tinggi mesti dihadapi dengan revitalisasi paradigam dan praksis Islam Wasathiyah yang dominan di Indonesia. Namun sayangnya, kata Azyumardi, mayoritas dan ormas  Islam Wasathiyah Indonesia cenderung pasif menghadapi infiltrasi dan penyebaran radikalisme di kmapus PT dan masyarakat luas.

Meski begitu, dia terus mendorong agar pimpinan PT pro-aktif menjalin kerjasama dengan ormas dan lembaga Islam Wasathiyah. Pimpinan PT, jelas dia, dapat bekerja sama dalam penguatan wawasan  Islam Wasathiyah, keislaman-keindonesiaan dan pengelolaan kegiatan keagamaan di lingkungan PT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement