Selasa 26 Apr 2022 01:26 WIB

Berburu Lailatul Qadar

Masih terbuka kesempatan kita meraih lailatul qadar, namun mesti 'diburu'...

Umat muslim membaca Alquran (tadarus) saat beritikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan 1443 H di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Jumat (22/4/2022) malam. Pada 10 hari menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, umat muslim melakukan Itikaf untuk meraih malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dengan membaca Alquran, Shalat Tahajud dan berzikir. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Umat muslim membaca Alquran (tadarus) saat beritikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan 1443 H di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Jumat (22/4/2022) malam. Pada 10 hari menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, umat muslim melakukan Itikaf untuk meraih malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dengan membaca Alquran, Shalat Tahajud dan berzikir. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan

 Tidak terasa Ramadhan sudah memasuki sepertiga akhir. Artinya, Ramadhan sudah memasuki dua puluh hari pertamanya. Orang Jawa biasa menyebutnya dengan likuran. Maka di sepertiga akhir Ramadhan, pada malam harinya tampak pemandangan umat berbondong melakukan i’tikaf di masjid, guna mendapatkan lailatul qadar.

Lailatul qadar, adalah malam seribu bulan. Berlombalah setiap Muslim untuk mendapatkannya. Dan malam-malam ganjil menjadi prioritas para Muslim melakukan i’tikaf. Suasana malam hari, tepatnya menjelang dini hari sampai fajar, menjadi semarak di hampir setiap masjid. Suasana ini beda dengan hari-hari di dua pertiga Ramadhan, apalagi dengan hari-hari di luar Ramadhan.

“Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. 97: 3).

Adakah malam keberkahan sedahsyat “seribu bulan” ini? Tidak ada malam-malam lainnya yang menandingi malam keberkahan itu. Lebih baik dari “seribu bulan”, itulah lailatul qadar, yang jika dihitung lebih baik dari 83 tahun dan 4 bulan. Inilah pendapat pertama...

Pendapat kedua, mengatakan bahwa “seribu bulan” itu memiliki arti “selama-lamanya” (jami’ ad-dahr), dimana dalam bahasa Arab kata “alaf” (seribu) menunjukkan batasan tertinggi dari segala sesuatu. “Alaf” di sini bermakna simbolik untuk menyatakan bilangan tak terbatas. Ini mengacu pada al-Qur’an Surat 2: 96, “Di antara mereka (kaum musyrikin) itu berkeinginan agar tetap hidup sampai beribu-ribu tahun...” Makna “beribu-ribu” tahun adalah jangka waktu yang amat lama, tak terbatas.

Kemuliaan dan keagungan nilai sepuluh hari terakhir pada malam-malam di bulan Ramadhan untuk setiap hamba yang melakukan ibadah qiyamul-lail dengan penuh kesungguhan, akan diganjar dengan pahala berlipat, termasuk pahala ampunan dari berbagai dosa...

Sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Siapa saja yang melakukan ibadah pada lailatul qadar dengan penuh iman dan perhitungan akan besarnya pahalanya, dosa yang telah lalu akan diampuni.”

Karena tingginya kedudukan nilai lailatul qadar, hingga Allah perlu menurunkan wahyu-Nya. Alquran secara spesifik menjelaskan keistimewaan lailatul qadar, dalam Surat al-Qadr, 97: 1-5, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah engkau, apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat, dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk [mengatur] segala urusan. Malam itu penuh keselamatan sampai fajar terbit.”

Keistimewaan utama dimana Allah telah menurunkan Alquran untuk pertama kalinya di malam lailatul qadar... Tampak pula pada ayat itu kesan akan tingginya malam itu, ketinggian nilainya berada di luar nalar pemahaman makhluk-Nya. Hanya Allah semata yang tahu akan hakikat nilai kemuliaannya.

Namun demikian Allah sedikit memberi gambaran pada hamba-Nya agar mempunyai pemahaman akan kemuliaan malam lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari “seribu bulan”. Beberapa hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menerangkan, lailatul qadar “menghampiri” umatnya yang beri’tikaf dan melakukan amalan-amalan kebaikan di sepertiga akhir bulan Ramadhan, dan itu pada malam-malam ganjil...

Lailatul qadar bisa hadir di malam dua puluh satu, malam dua puluh tiga, malam dua puluh lima, malam dua puluh tujuh, atau bahkan malam dua puluh sembilan... Sebagaimana hadits riwayat Aisyah Radhiyallahu Anha, yang bisa menjadi pijakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari akhir Ramadhan, dan bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah dalam mencari malam lailatul qadar pada sepuluh hari akhir Ramadhan’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah tidak memberitahu pada malam ke berapa lailatul qadar itu, semata agar kita bersungguh-sungguh “menemukannya”. Karenanya, umat-Nya yang beriman, berlomba “menemukan” lailatul qadar dengan kesungguhan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menekankan agar umatnya beribadah pada malam ini didasari dengan iman dan ihtisab. 

Lailatul qadar adalah momentum paling berharga yang dianugerahkan Allah, merugilah mereka yang mengabaikannya. Ayat yang paling indah, “Dan tahukah kamu, apakah Malam Kemuliaan itu?” yang dianugerahkan itu, dikhususkan hanya kepada umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan tidak kepada umat-umat lainnya...

Berkenaan dengan itu, Anas Radhiyallahu Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Lailatul qadar dikaruniakan kepada umatku, dan tidak dikaruniakan kepada umat sebelumku.” Penyebabnya, disebabkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam kerap merenungkan tentang umur umatnya yang hidup di dunia lebih pendek dibanding dengan umat-umat terdahulu, sehingga beliau bersedih, lantaran umatnya akan memiliki kesempatan beribadah dan beramal saleh lebih terbatas dalam segi waktu... Karenanya, Allah Sang Pemberi Rahmat menganugerahkan kepada umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam karunia berupa Lailatul Qadar.

Karenanya, kitalah umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang mendapatkan anugerah, meski memiliki usia pendek, namun karena rahmat-Nya semata, melalui lailatul qadar, mampu menyamai bahkan melebihi umat-umat sebelumnya, dalam hal beribadah dan beramal saleh. Maka semestinya kita manfaatkan kesempatan meraih lailatul qadar ini dengan kesungguhan, seolah inilah Ramadhan terakhir kita membersamai.

Lalu, apa yang mesti kita ucapkan jika lailatul qadar “menghampiri” kita. Aisyah Radhiyallahu Anha pernah menanyakan hal itu pada Rasulullah, jika menemui lailatul qadar apa yang mesti dilakukan? Rasulullah menjawab, “Bacalah, Allaahumma inna-Ka ‘afuwwun tuhibbul-’afwa fa’fu anni (Wahai Allah, Engkau Maha Pemaaf, menyenangi maaf. Maka maafkanlah aku).” (HR. at-Tirmidzi, Imam Ahmad dalam Musnad-nya).

Tentu masih terbuka kesempatan kita meraih lailatul qadar, yang tidak datang dengan sendirinya, namun mesti “diburu”... Hanya rahmat Allah bagi mereka yang membaktikan dirinya di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan guna mendapatkan pahala yang lebih baik dari “seribu bulan”... Semoga kita termasuk dalam kriteria hamba-Nya yang mendapatkan rahmat-Nya... Wallahu A’lam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement