Selasa 15 May 2018 22:04 WIB

Rumah Langit Tempat Bernaung Anak-Anak Pemulung

Anak-anak itu belajar tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Rep: Ahmad Syalabi Ichsan/ Red: Muhammad Hafil
Suasana belajar di Rumah Langit.
Foto: Ahmad Syalabi Ichsan/Republika
Suasana belajar di Rumah Langit.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahmad Syalabi Ichsan / Wartawan Republika.co.id

Di kelas itu, Rizki Fitria Aryani (9 tahun) tampak serius dengan objek di atas meja. Gadis ku rus berkulit legam itu mem beri ragam warna kertas bergambar tokoh kartun dengan krayon. Rizki berupaya betul agar goretan krayonnya tidak melebihi garis batasnya. Di dekat Rizki, tam pak gadis yang punya tubuh lebih tinggi. Namanya Sheila (11 tahun). Sesekali, Sheila yang mengenakan jilbab putih coba membimbingnya agar gam bar itu mempunyai komposisi yang tepat. Sebagai kakak kandung Rizki, Sheila tak ingin karya adiknya berantakan.

Kakak-beradik itu menjadi bagian dari anak-anak yang kerap belajar di Rumah Langit. Sebanyak 20-an anak ikut belajar pada siang itu. Rumah Langit, yang berlokasi di Jalan Masjid Al Bariyah No 63 A RT 04/RW01, menjadi tempat belajar dan rumah singgah bagi anakanak pemulung yang tinggal sekitar 200 meter dari sana. Saban hari, mereka be lajar pada pukul 13.00 WIB-16.00 WIB.

Pada Senin (7/5) itu misalnya. Sebelum mewarnai, mereka belajar matematika. "Ini kita baru kasih kuis untuk mereka berlatih soal matematika," ujar Winona Syifa, Ketua Yayasan Rumah Langit saat berbincang dengan Republika.co.id.

Setiap hari, Anak-Anak Langit, sebutan bagi anak-anak yang belajar di Rumah Langit akan mendapatkan materi berbeda. Selain matematika, mereka akan belajar bahasa Inggris, sains, kesenian, hingga seni dan budaya. Setelah belajar, anak-anak dan kakak-kakak (para pengajar) akan menjalani ritual makan sore gratis bersama. Setiap hari, menunya akan berganti mulai soto ayam, nasi goreng, mi goreng, tumis kangkung, dan sebagainya.

Yusar Mikail, pendiri Rumah Langit menjelaskan, ada lebih dari 80 anak yang terdaftar di Rumah Langit. Meski demikian, tingkat kehadiran anak di komunitas yang baru saja menjadi yayasan itu fluktuatif.

"Kadang-kadang bisa ramai kayak sekarang ada 20-an. Kalau lagi sepi ya sepi," ujar Yusar. Karena itu, Yusar meng ga gas program-program inovatif untuk menarik kembali anak-anak sekitar untuk datang ke Rumah Langit. Mereka pun bekerja sama dengan beragam komunitas mahasiswa untuk mengadakan acara bagi anak-anak langit. Contohnya, pelatihan mural, outing ke tempat rekreasi, mendongeng, hingga pelatihan fotografi.

Anak-anak itu belajar tanpa dipungut biaya sepeser pun. Biaya ritual makan sore juga sepenuhnya ditanggung Rumah Langit. Yusar menjelaskan, semua biaya operasional Rumah Langit ditopang para donatur dari berbagai profesi. Mereka memberikan donasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah setiap bulan. Yusar mengaku berhati-hati dalam meng gunakan uang tersebut. Seberapa kecil pun pengeluaran Rumah Langit pasti dicatat dan dimasukkan ke dalam laporan yang akan diserahkan kepada para donatur. "Beli bumbu seribu saja kita catat," kata dia.

Banyak relawan mahasiswa yang rutin mengisi waktunya untuk mengajar Anak-Anak Langit. Mereka berasal dari beragam jurusan. Dari bahasa Inggris, informasi dan teknologi, teknik, hingga sejarah. Kakak-kakak langit itu datang tanpa dibayar. Meski demikian, mereka mendapatkan pelatihan gratis dari pengelola Rumah Langit. Contohnya saja, pelatihan IT. Oregon, sebuah perusahaan rintisan asal Amerika Serikat (AS) yang dimiliki warga negara Indonesia (WNI), berkenan untuk menyertakan mereka ke dalam pelatihan jarak jauh selama enam bulan. Beberapa kali, mereka juga mendapat pelatihan jurnalistik dan pengembangan diri dengan gratis. "Kebanyakan dari Unindra karena kampusnya dekat dari sini," kata Yusar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement