RUU POM tak akan Matikan Industri Kecil

RUU dianggap akan mematikan industri kecil yang disinyalir melakukan hal ilegal.

Kamis , 12 Apr 2018, 16:10 WIB
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema
Foto: DPR RI
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema "Hindari Makanan Bercacing, RUU POM Rampung Sebelum Ramadhan?", di Kompleks Parlemen, Senayan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf memastikan, Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) tak akan mematikan industri kecil. Sebab, hingga kini masih ada yang menganggap RUU ini akan mematikan industri kecil yang disinyalir melakukan hal yang ilegal. Oleh karena itu, sebelum tindakan akan ada pembinaan.

“Maka dari itu, sebelum kita bicara penindakan, kita harus bicara pembinaan dengan menggandeng beberapa universitas ternama. Jadi, RUU POM ini untuk mengawasi, membina dan bukan untuk menakut-nakuti,” kata Dede dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema "Hindari Makanan Bercacing, RUU POM Rampung Sebelum Ramadhan?", di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (10/4) lalu.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan, berbagai isu yang sedang hangat di telinga publik dalam konteks obat dan makanan saat ini membuat adanya perhatian lebih untuk mempercepat pembahasan RUU POM. Ini agar jelas siapa yang memegang regulasi dan siapa yang mengoperasikan.

"Kita akan membelah RUU ini seperti UU Ketenagakerjaan dimana regulator itu adalah Kemenaker dan operator itu adalah BNP2TKI. Kemudian inilah kita akan menentukan siapa yang harus kita pilah, siapa melakukan apa, dan fungsi pengawasannya ada dimana,” jelasnya.

Dede menambahkan, dengan adanya pembelahan yang dituangkan dalam RUU itu, agar tidak menciptakan badan yang superbody. Menurutnya, urgensi terhadap RUU itu sebagai fungsi pengawasan adalah peran-peran badan terkait yang akan diambil dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan pembagian peran secara berimbang.

"Dalam proses penanganannya, jangan sampai BPOM mengambil peran Kementerian Kesehatan terkait obat yang harus melewati izin Kemenkes, karena belum tentu setiap obat harus lewat izin Kemenkes. Jadi menurut saya, harus ada pembagian peran,” imbuh Dede.

Di sisi lain, Dede juga meminta BPOM untuk tak sering menggelar konferensi pers. Apalagi temuannya hanya berdasarkan dugaan-dugaan terkait bahaya makanan, obat, kosmetik dan produk lainnya. Dede meminta, kalau temuannya sudah 100 persen ada bukti kuat baru dirilis ke masyarakat.

Menurut politikus dapil Jawa Barat itu, memasuki perang dagang saat ini, dengan hanya diduga berbahaya atau mengandung bahan tertentu, maka akan ada produk kompetitor yang akan naik. “Sedangkan produk yang diduga tersebut langsung turun drastis, bahkan hilang di pasaran,” ujarnya.

Sebab saat ini kata Dede, propaganda apapun dengan menghalalkan segala cara akan dilakukan hanya untuk kepentingan dagang, dan itu berlaku global. Tugas BPOM itu tugasnya untuk memastikan kesehatan sebuah produk makanan, minuman, kosmetika dan lain-lain.

“Jadi, kalau BPOM belum ada bukti kebenarannya 100 persen, lebih baik tidak usah konpers,” jelasnya.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho mengatakan, jika perang dagang sekarang ini tidak dengan berhadap-hadapan dengan membawa senjata. Tapi, perang secara asimetris, yaitu dengan senjata kimia melalui produk makanan, obat, kosmetika, dan sebagainya.

Oleh karena itu, menurutnya yang terpenting bagaimana RUU Pengawasan Obat dan Makanan ini membuat produk rakyat aman, semua pelaku usaha juga aman, serta memberdayakan usaha produk lokal. Tugas RUU ini, menurutnya, harus memberdayakan produk lokal.