Selasa 10 Apr 2018 20:01 WIB

Pengamat: Kembalikan Pendidikan pada Akarnya

Bagaimana kurikulum yang ada saat ini bisa mengover perspektif anak.

Sekolah yang menyenangkan (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Sekolah yang menyenangkan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sistem pendidikan di Indonesia selama ini lebih banyak memposisikan anak sebagai objek pembelajaran, bukan subjek pembelajaran. Hal ini layak dijadikan refleksi bersama mengingat di negara-negara maju, sebagai contoh Finlandia yang telah diakui memiliki sistem pendidikan terbaik dunia, justru menempatkan anak sebagai pusat pendidikan.

"Mari kita kembali berefleksi, pendidikan ini untuk siapa? Jika untuk anak, mari singkirkan ego orang dewasa di dalamnya. Mari kembalikan pendidikan kepada akarnya, pendidikan yang berpihak pada perspektif anak," ujar pemerhati pendidikan, Erwan Nizarudin, kepada Republika, Selasa (10/4).

Erwan telah menyampaikan hal itu saat mewakili Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dalam acara Education Sector Review (ESR) di Bandung pada 5-6 April lalu. Acara yang digelar oleh Bappenas tersebut dan dihadiri berbagai lembaga internasional seperti UNICEF, World Bank, dan The Alpha School System (TASS) itu digelar untuk mengetahui masalah-masalah yang ada di bidang pendidikan.

Menurut Erwan, yang perlu ditekankan adalah pertama, bagaimana kurikulum yang ada saat ini bisa mengover perspektif anak. "Sesuai temuan kami di lapangan, yang jadi masalah adalah alasan anak-anak belajar adalah untuk menghadapi ujian. Belum ada pola pembelajaran yang menumbuhkembangkan kematangan anak," katanya.

Hal ini, kata dia, disebabkan karena dalam kurikulum sekarang yang menjadi sentral adalah perspektif orang dewasa. "Padahal pemerintah perlu memikirkan, seandainya seorang anak sudah nyaman saat belajar, maka nilainya pun juga akan bagus," tutur Erwan

Kedua, terkait dengan pengembangan guru. Dimana untuk menciptakan seorang guru yang profesional juga harus menggunakan perspektif anak. "Menciptakan guru seperti ini juga harus dibangun lewat pengembangan di kurikulum, mulai dari lembaga yang mencetak guru, sampai melalui sertifikasi. Dengan demikian akan terbentuk guru yang memiliki kapasitas menumbuhkembangkan, bukan (guru) yang berbasis kognitif semata," ujar Erwan.

Terakhir, pendidikan di Indonesia selama ini, menurut dia, terlalu menitikberatkan pada evaluasi atau assessment yang tujuannya adalah pengambilan kebijakan, contohnya adalah ujian nasional. "Pendidikan yang bukan untuk pembelajaran. Apa yang dipelajari anak sehari-hari tidak selaras dengan yang diujiankan, akibatnya seringkali anak-anak justru disuruh mengikuti bimbingan belajar untuk menghadapi ujian yang ketat," ujarnya.

Erwan menyimpulkan, jika sistem pendidikan kita kembali berpihak pada perspektif anak maka hal itu akan memberi secercah harapan bagi masa depan bangsa ini. Ia mencontohkan kasus di Finlandia, dimana anak-anak lebih banyak bermain di sekolah, namun skor Program for International Student Assessment (PISA) negara tersebut tetap tinggi. "Hal ini disebabkan anak-anak melalui proses pembelajaran dengan senang, jadinya nilai mereka pun menjadi bagus juga," ujar Erwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement