Sabtu 31 Mar 2018 17:17 WIB

Analisis Penyebab Kebakaran Hutan, Mahasiswa ITS Raih Juara

Terdapat 12.800 titik potensi terjadinya karhutla

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Hazliansyah
Asap membubung saat terjadi kebakaran hutan dan lahan di Desa Sungai Rambutan, Indralaya Utara, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (14/9).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Asap membubung saat terjadi kebakaran hutan dan lahan di Desa Sungai Rambutan, Indralaya Utara, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (14/9).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tim mahasiswa Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menjuarai Lomba Karya Tulis Ilmiah yang digelar di Universitas Mulawarman. Tim yang terdiri dari Dedi Setiawan, Bekti Indasari, dan Dewi Lutfia Pratiwi ini menjadi juara pertama dan memperoleh penghargaan dalam kategori best speaker.

Berawal dari pengalaman saat melakukan kerja praktik di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dedi Setiawan berinisiatif menganalisis wilayah yang berpotensi terjadinya kebakaran lahan dan hutan di Indonesia, melalui data gambar yang diberikan oleh satelit NASA. Dedi berpikir, menganalisis wilayah-wilayah tersebut tidak cukup hanya berdasarkan data-data kejadian kebakaran sebelumnya.

"Tetapi tingkat curah hujan juga harus diperhitungkan. Dari masalah ini kita mengangkat ide untuk menganalisis titik panas kebakaran di beberapa wilayah Indonesia berdasarkan pengaruh curah hujan dengan metode Cluster K-Means dan SDV," kata Dedi dalam siaran persnya, Sabtu (31/3).

Dedi menjelaskan, Cluster K-Means adalah metode analisis yang digunakannya untuk mengelompokkan obyek-obyek pengamatan menjadi beberapa kelompok. Sehingga akan diperoleh suatu kelompok dimana obyek-obyek dalam satu kelompok tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan yang nyata.

"Sedangkan Singular Value Decomposition (SDV) adalah teknik untuk mengatur pola tingkat curah hujan yang dominan dari masa ke masa," ujar Dedi.

Dedi menyampaikan, data dan fakta masalah tersebut diolah dengan menggunakan data frekuensi terjadinya kebakaran dan pola tingkat curah hujan di Indonesia. Yakni dalam kurun waktu antara tahun 1995 sampai 2016 yang diambil dari satelit.

Data-data tersebut dikombinasi dan dianalisis sehingga menghasilkan 12.800 titik yang tercatat. Dari semuanya itu, ada 28 titik yang berpotensi tinggi terjadi kebakaran hutan maupun lahan, 116 titik berpotensi sedang, dan 12.690 titik berpotensi rendah.

"Dari 28 Titik tersebut tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat," kata Dedi.

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini, Dedi bersama Tim mengungkapkan keinginannya untuk mensosialisasikan hasil analisis data yang diperoleh tersebut ke pemerintah.

"Tujuannya untuk dapat dijadikan bahan masukan dan dilakukannya rencana tindakan lebih lanjut, agar lebih bermanfaat," ujar Dedi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement