Ahad 11 Mar 2018 15:51 WIB
Supersemar

Benarkah Soeharto Menyelewengkan Supersemar?

Presiden Sukarno menilai Soeharto ngawur dalam menerjemahkan Supersemar

Soekarno dan Soeharto
Foto: Gahetna.nl
Suharto bersama Sukarno di Istana Bogor,19 juli 1967.

Mengapa Presiden Sukarno memanggil trio jenderal ke Istana Bogor? Karena, melalui ketiga jenderal ini pula, Letjen Soeharto memberikan pesan kepada Presiden Sukarno. Ketiganya meminta Bung Karno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan setelah istana dikepung pasukan liar. 

Sukarno pun mengeluarkan Surat Perintah (SP) 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Presiden Soekarno mengutus Leimena dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut merangkap Komandan Korps Komando AL Mayjen KKO Hartono untuk menyerahkan SP 13 Maret 1966 kepada Soeharto di rumahnya. 

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Soeharto tak menggubris perintah kedua ini. “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!” ujar Soeharto. 

photo
Naskah Supersemar

Bagaimana isi Surat Perintah 13 Maret 1966? SP 13 Maret terdiri atas tiga hal. Pertama, mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/ administratif, tidak politik. Semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS. 

Kedua, Letjen Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan tindakan yang melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata. Ketiga, Letjen Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya. 

Menurut Slamet Sutrisno, dosen sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden. Ia juga tidak melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret. 

Sementara itu, mantan waperdam I Soebandrio menyatakan, dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya tertera poin, setelah keadaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Sukarno. Hal ini dikuatkan oleh Letjen Kemal Idris, “Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai, ya harus lapor.” 

Namun hal itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri. Maka, tak mengherankan jika sampai ini, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tidak memiliki naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 dan Surat Perintah 13 Maret 1966. Hanya Soeharto, sebagai penerima dua surat itu, yang mengetahui di mana kedua surat saksi sejarah bangsa.

Semua pelaku dan saksi kedua surat penting itu kini telah tiada. Itulah sisi kelam sejarah bangsa pada masa peralihan dari Sukarno kepada Soeharto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement