Selasa 13 Feb 2018 18:49 WIB

Pengamat: Kampus Asing tak Boleh Salah Asuh

PTA diharapkan bisa menjadi jembatan kerja sama pendidikan antar warga dunia.

Perguruan Tinggi - ilustrasi
Foto: blogspot.com
Perguruan Tinggi - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dalam kacamata positif, keberadaan Perguruan Tinggi Asing (PTA) dipandang sebagai salah satu upaya disrupsi inovasi pendidikan di Indonesia untuk hadapi era globalisasi. Kebijakan untuk menghadirkan PTA di Indonesia belakangan jadi isu hangat dalam dunia pendidikan. 

Rencana itu diungkapkan langsung oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir. Didukung oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pendidikan Tinggi yang telah mengatur akses masuk PTA ke Indonesia, Nasir ingin mengawalinya dengan memberi izin kepada lima sampai 10 PTA untuk membuka kampusnya di Tanah Air.

Respons positif maupun negatif pun mewarnai rencana kebijakan ini. Beberapa kampus tak mempermasalahkan kehadiran PTA. Sementara lainnya menolak dengan beragam alasan.

Mereka yang tak mempermasalahkan percaya bahwa kehadiran PTA merupakan fenomena globalisasi yang harus disambut positif dan kompetitif. Sedangkan mereka yang menolak memandang PTA bisa mematikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Negeri Swasta (PTS) yang sudah mapan di Indonesia.

Sebagai pelaku pendidikan, Dosen Teknik Elektro dan Teknik Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Nur Rizal, justru menyambutnya dengan optimisme tinggi. PTA disebutnya mampu menumbuhkan sinergi dan kolaborasi positif dengan perguruan tinggi Indonesia, asal jangan 'salah asuh'.

“Jika dilihat dari kacamata positif, rencana kehadiran PTA  di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sinergi dan kolaborasi dengan perguruan tinggi yang sudah ada dalam mengantisipasi tuntutan perubahan. Asal jangan salah asuh, (yakni) regulasi yang dibuat ditakutkan malah menambah iklim kapitalisasi pendidikan yang hanya akan dinikmati oleh segelintir elite masyarakat saja,” ungkap Rizal beberapa waktu lalu.

Rizal lantas mengakui bahwa unsur pollitik tak bisa dibantah dalam perkembangan isu PTA. Namun dia mengharapkan keberadaan PTA bisa menjadi jembatan kerja sama pendidikan antar warga dunia dan mempercepat proses internasionalisasi pendidikan di Indonesia. 

“Tentu saja, setiap kebijakan publik tidak terlepas (dari unsur politik) dan akan menuai protes. Namun, jika kita tilik dari peluang dan tantangan global di mana masyarakat atau negara semakin enggan bekerja sama dan semakin meluasnya sikap populisme atau radikalisme, kondisi ini memerlukan jembatan kerjasama di bidang pendidikan untuk mempererat tali hubungan antar warga dunia,” ujarnya.

“Keberadaan PTA diharapkan bisa mempercepat proses internasionalisasi proses pendidikan tinggi agar mahasiswa Indonesia tak perlu studi ke luar negeri untuk mengenyam pendidikan dengan sistem lebih maju dan kekinian. PTA juga menjadi salah satu upaya disrupsi inovasi pendidikan di Indonesia untuk hadapi era globalisasi,” lanjutnya.

Lebih jauh Rizal memandang keberadaan lembaga pendidikan asing di Indonesia, bisa merangsang kampanye Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang didirikannya. Tidak secara menyeluruh, karena GSM hanya mengadopsi sistem proses belajar di negara maju yang tetap disesuaikan dengan permasalahan lokal pendidikan Indonesia.

"GSM menawarkan perubahan mindset atau proses belajar-mengajar yang setara dengan lembaga pendidikan asing yang ada, namun terjangkau untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Karena proses adopsi pendidikan global yang dilakukan telah disesuaikan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan dilaksanakan oleh komunitas pendidikan Indonesia sendiri, layaknya guru, mahasiswa, dosen, aktivis dan orang tua tua siswa. Apa yang dilakukan GSM sesuai dengan prinsip 'think globally, act locally and collaborate internationally'," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement