Wakil Komisi XI DPR: Holding Langgar UU BUMN

Proses holding BUMN harus melalui persetujuan DPR berdasarkan UU Kekayaan Negara.

Selasa , 23 Jan 2018, 11:43 WIB
Kementerian BUMN bersama Direktur BUMN Tambang melakukan sosialisasi terkait progress pembentukan holding tambang, Rabu (22/3).
Foto: Republika/Intan Pratiwi
Kementerian BUMN bersama Direktur BUMN Tambang melakukan sosialisasi terkait progress pembentukan holding tambang, Rabu (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Hafisz Thohir menegaskan bahwa proses holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus melalui persetujuan DPR, sebagaimana yang diatur pada Undang-Undang (UU) Kekayaan Negara, UU BUMN dan UU Perseroan. Apalagi menurut Thohir pada prosesnya holding terjadi perpindahan kepemilikan saham pada suatu perusahaan.

"Memang saham negara itu tidak hilang karena dia disertakan dalam bentuk modal pada perusahaan tertentu, tapi di sana ada pergeseran kepemilikan dan komposisi, sehingga harus melalui persetujuan DPR," kata Thohir, Selasa (23/1).

 

Thohir mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2016 yang menyatakan bahwa pembentukan holding tidak memerlukan proses pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau tidak membutuhkan persetujuan DPR, maka PP tersebut berlawanan dengan aturan yang lebih tinggi.

 

"Nggak boleh pemerintah melanggar Undang-Undang, jelas ini berefek buruk pada citra dan kepercayaan publik pada hukum," ujar dia.

 

Lagi pula, Thohir melihat pembentukan holding ini akan sulit terkonsolidasi dan bermasalah secara akuntan. Yang mana untuk mempertahankan status BUMN pada perusahaan yang dijadikan anak holding, pemerintah menyisakan sebagian kecil saham dwi warna yang disebut saham istimewa.

 

Saham istimewa dwi warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Sebab jika dipaksakan, akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sedangkan PSAK 65 juga terintegrasi atau merujuk pada International Financial Reporting Standart (IFRS).

 

"Nanti bermasalah, kan keuntungan akan dikonsentrasi menjadi modal pada tahun berikutnya," ujar Thohir.