Rabu 17 Jan 2018 19:21 WIB

1950-an, Becak Jadi Penyebab Kesemrawutan Jakarta

Tukang becak mengangkut penumpang saat melintas di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Selasa (16/1).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Tukang becak mengangkut penumpang saat melintas di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Selasa (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Lalu lintas di Jakarta telah semrawut sejak awal 1950-an. Di Pasar Senen, Jakarta Pusat, contohnya. Pada 1952, Pasar Senen masih merupakan pasar tradisional dan belum dibangun Proyek Senen. Kesemrawutan lalu lintas di Jakarta terjadi karena banyaknya becak beroperasi di ibu kota yang pengemudinya para urban yang datang dari berbagai daerah perdesaan untuk mengadu nasib. Mengingat di masa itu kehidupan sangat ‘hidup’ di daerah-daerah.

Terlihat gedung-gedung tua yang merupakan pertokoan milik Tionghoa di sepanjang Senen Raya yang kini sudah tidak berbekas sama sekali. Dibongkar total Gubernur Ali Sadikin ketika membangun Proyek Senen (1970-an). Di bagian kiri foto, kira-kira terletak Atrium Senen dan sebelah kanannya Proyek Senen. Terlihat jalan trem yang mulai menghilang pada 1960 masa Wali Kota Sudiro.

Kalau sekarang sepeda motor menjadi raja jalanan di ibu kota, pada 1950-an belum banyak orang memilikinya. Becaklah yang menjadi raja jalanan. Yang menjengkelkan, mereka menarik becak di tengah jalan untuk kendaraan bermotor dan berhenti di tengah jalan.

Para tukang becak yang sebagian besar buta huruf menyalip mobil-mobil tanpa peduli membahayakan penumpangnya. Tidak heran kalau kendaraan roda tiga ini sangat menjengkelkan para sopir dan pemerintah kota. Tidak beda dengan para pengendara sepeda motor sekarang, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu unit. Tidak peduli lampu merah diterabas terus.

Becak ditertibkan di masa Ali Sadikin dalam program membersihkan kota dari kendaraan roda tiga. Penggantinya, Bang Ali menyiapkan 2.000 bemo dan mendatangkan 5.000 bus.

Dia juga menertibkan oplet dengan membaginya per trayek. Jakarta sebagai kota becak tahun 1960-an terkenal di berbagai negara. Terbukti ketika Bung Karno ke AS tahun 1950-an, bintang film Hollywood, Jeans Simons, menyatakan ingin ke Jakarta untuk naik becak. Bung Karno rupanya tidak berkenan terhadap ucapan itu, karena menganggap menarik si roda tiga sebagai eksploitasi terhadap manusia.

Pada 1930-an, Pasar Senen menjadi tempat bertemunya para intelektual muda, pejuang bawah tanah, seperti Dr AK Gani, Chairul Saleh, dan Adam Malik. Pada masa Jepang juga jadi tempat persinggahan para seniman karena Chairil Anwar sering muncul di Senen. Pada 1950-an dan 60-an, dikenal Seniman Senen yang kemudian menjadi sineas terkemuka, seperti Sukarno M Noor (ayah Rano Karno), Wahyu Sihombing, Sumandjaya, Menzano, bahkan Djamaluddin Malik dan HB Yasin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement