Ahad 10 Dec 2017 05:30 WIB

Kebingungan Terhadap Vaksin

Orang tua memeriksakan anaknya untuk menjalani vaksinasi ulang (Ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Orang tua memeriksakan anaknya untuk menjalani vaksinasi ulang (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eka Puspita Arumaningtyas *)

Latar saya sama sekali tak berkaitan medis atau dibanding suami yang dari kimia murni. Saya hanyalah ibu rumah tangga yang sayang pada anak-anak. Basic saya hanya astronomi, yang begitu menikmati literasi lintas ilmu.

Nah sebagai seorang ibu, saya ingin memastikan segala hal yang masuk ke tubuh anak jelas aman tak berdampak. Saya tak perlu background ilmu terkait untuk sekadar bertanya tanya dan berpikir bukan? Justru ini langkah menggugurkan salah satu kewajiban sebagai ibu untuk memastikan kesehatan mereka (anak-anak).

Awal mula saya ragu dengan vaksin adalah adanya fakta keponakan saya yang sudah divaksin campak, ternyata tetap kena campak. Anak saya sudah vaksin BCG, tapi tetap kena TBC. Ditambah kegalauan karena penggantian vaksin polio tetes ke suntik. Diperparah informasi ibu saya sebagai nakes bahwa vaksinasi BCG yang gagal harus diobati layaknya pengobatan TBC.

Dari pengalaman itu, saya menyimpulkan tampaknya penelitian tentang vaksin belum tuntas. Belum bisa menjawab banyak fenomena janggal.

Memang betul vaksin dibuat dengan teknologi sains yang mutakhir. Namun, pembenaran vaksin adalah satu satunya solusi, membuat saya belum yakin.

Karena kita tidak bisa melakukan penelitian langsung pada manusia. Kita tidak bisa menguji 100 anak yang sengaja dipaparkan penyakit rubella dalam kondisi yang diatur untuk melihat statistik berapa persen yang sakit dan tidak.

Semoga tidak hanya data-data mengerikan menyangkut dampak tidak divaksin yang selalu dikemukakan. Sedangkan, dampak korban usai vaksin atau KIPI, malah dikesampingkan. Hal ini sama sekali bukan sains karena sains tidak condong hanya pada satu sisi.

Para provaks menyatakan, vaksin mampu mengurangi jumlah pasien di dunia. Bagaimana pembuktiannya?

Sesederhana dari fakta bahwa setelah divaksin memang jumlah penderita berkurang. Padahal, apakah berkurang betul karena vaksin? Tidak adakah faktor lain yang memengaruhi?

Katakanlah penarikan logikanya memang benar. Berarti, kita juga bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa KIPI memang disebabkan vaksin. Alasannya sederhana, karena sebelum divaksin kondisinya normal.

Mengapa mereka berusaha berkelit dan berbelit selama investigasi KIPI? Mencari alasan bagaimana vaksin tak disalahkan? Sedangkan dalam melihat kesehatan mereka begitu gampang menyatakan vaksinlah super heronya, tanpa melihat bagaimana kualitas gizi, sanitasi, dan gaya hidup masyarakat yang diuji?

Satu peristiwa saja cukup untuk dijadikan dasar penentuan Kejadian Luar Biasa, namun mengapa satu saja KIPI tak cukup membuat para nakes dan pihak terkait melakukan evaluasi. Seharusnya jika tujuannya murni untuk kesehatan dan keselamatan manusia di dunia, satu saja laporan dampak negatif vaksin cukup sebagai alasan untuk meneliti ulang vaksin yang ada. Bahkan, belum lama ini, Filipina yang notabene bukan negara Muslim, menarik vaksin DBD karena menelan korban.

Setahu saya, tidak ada ciptaan manusia yang sempurna, hanya Allah yang Kuasa melakukannya. Semoga pihak terkait tidak memosisikan diri sejajar dengan Tuhan. Hingga yakin 100 persen bahwa vaksin satu satunya solusi kesehatan.

Saya tidak antivaksin. Asal vaksin yang sekarang ada 100 persen aman untuk manusia. Tidak boleh ada satupun anak-anak yang terkena side effeknya. Jika memang ada vaksin seperti ini saya akan dengan senang hati memvaksin anak-anak saya.

Tapi, selama nakes dan pihak terkait selalu menolak data-data KIPI, di situ saya mulai ragu. Mengapa demikian? Apakah karena tidak mau disalahkan dan ketidakmampuan membuat vaksin yang 100 persen aman?

Bagaimana menguji bahwa vaksin aman? Pengujiannya harus pada manusia. Karena program vaksin pemerintah ini untuk manusia bukan untuk hewan.

Coba disuntik 1.000 anak dengan vaksin tertentu dan dikarantina dalam suatu lokasi yang tertentu kondisinya, lantas lihat bagaimana efeknya? Apakah percobaan seperti ini tidak dilarang? Bagaimana bisa manusia boleh dijadikan kelinci percobaan?

Tapi, mengapa vaksin polio tetes tiba-tiba diganti dengan suntik? Jangan-jangan semua vaksin yang beredar suatu saat juga akan diganti dengan yang lebih baik? Apakah itu artinya vaksin yang sekarang diedarkan dan dinyatakan aman hanya karena belum ada laporan menyimpang? Tidak ada laporan menyimpang karena semua laporan yang masuk ditolak dan dimentahkan?

Bagi saya ini adalah kejanggalan.

Seharusnya setiap anak sebelum diimunisasi harus di cek laboratorium dulu kondisi imunitasnya. Kenyataannya, tidak satupun paramedis yang memberi anjuran untuk hal ini. Selain biayanya mahal hasilnya pun tidak instan. Mereka main suntik saja tanpa mengerti gimana kondisi tiap anak.

Kondisi imunitas anak pastinya berbeda. Ya jangankan imunitasnya, bakat kan juga beda-beda. Anehnya, kenapa hanya ada satu jenis vaksin untuk kondisi tubuh anak yang beda-beda ini?

Saya khawatir karena satu jenis vaksin untuk semua inilah yang memicu gejala gejala imunitas yang tidak diinginkan. Semoga tidak bikin error sesuatu yang seharusnya baik-baik saja.

Vaksinasi memasukkan sesuatu ke dalam tubuh untuk memancing limfosit menghasilkan suatu antibodi. Tujuannya, melatih agar tubuh mengenali jenis jenis antigen.

Saya jadi bertanya, apa benar tubuh harus dilatih dulu? Bukannya saat kena penyakit tubuh otomatis akan menghasilkan antibodi?

Saya bertanya-tanya, mengapa generasi manusia bisa bertahan hidup sekian ratus ribu tahun lamanya padahal vaksin baru ini saja ditemukan? Ataukah setiap tubuh manusia sejak lahir sudah dibekali insting/kemampuan melawan penyakit?

Saya merasa perlu bertanya apa kandungan vaksin? Apakah komposisinya memang tidak memberi efek samping bagi tubuh? Apakah merkuri, alumunium, dll dalam vaksin tidak akan merusak jaringan tubuh? Saya tidak tahu.

Di negara maju (Amerika, Australia, dan lain-lain) banyak laporan anak jadi autis, asma, alergi, dan sebagainya setelah diimunisasi. Bahkan, beberapa ada yang meninggal. Ya, memang belum ditemukan bagaimana korelasinya. Tapi, bagi kami ibu-ibu awam, hal ini, sudah cukup mengerikan. Bagaimana kalau anak saya mengalami nasib sama?

Saya sedih kalau ada laporan orang sakit dan meninggal lantas dinyatakan bahwa itu salah orang yang tidak divaksin. Saya juga bingung kalau ada yang bilang orang yang sehat, padahal tak divaksin karena jasa orang-orang yang divaksin.

Kalau setelah divaksin saja masih bisa sakit, bagaimana bisa dibilang orang yang divaksin melindungi orang lain? Saya bingung.

Faktor kebersihan lingkungan, asupan gizi individu, dan penanganan medis ketika sakit apakah tidak berpengaruh? Mungkin perlu dibuktikan apakah dua orang satu divaksin satu tidak divaksin bila tinggal di lingkungan yang kotor tetap akan sama sama sakit. Apakah dua orang, satu divaksin, satunya tidak divaksin bila kurang gizi tetap akan sama sama sakit?

Dua orang, satu divaksin, satu tak divaksin bila saat sakit tidak ditangani dengan tepat akankah keduanya bisa parah bahkan meninggal? Ataukah orang yang sakit kemudian jadi parah alasannya bukan karena dia tidak divaksin tapi lebih karena saat sakit tidak ditangani dengan benar?

Apakah orang yang sudah divaksin juga sama? Apakah tenaga medis punya waktu menelisik lebih jauh latar belakang setiap pasien? Yang sakit tetanus lantas kejang dan meninggal tersebut, apa sudah dilihat latar belakang lingkungannya?

Vaksin sudah diuji

Sebenarnya, saya juga penasaran seperti apa proses pengujiannya? Jujur saja saya tidak pernah mendengar ada orang yang menceritakannya sebelum melakukan vaksinasi. Mungkin bisa saya dapat informasinya setelah tanya sana sini, googling sana sini. Bagi ibu-ibu yang tidak punya akses internet mungkin rasa penasarannya hanya terkubur dalam-dalam, tak pernah terjawab maupun dijawab.

Saya takut, manusia inilah uji coba vaksin. Semoga tidak demikian. Saya takut, side effect diteliti sambil jalan setelah vaksin digunakan. Semoga tidak demikian. Semoga ditelitinya tidak menunggu dulu ada laporan dari pengguna vaksin.

Tidak lapor bisa karena banyak alasan. Bisa karena kurang informasi sehingga menganggap sakitnya wajar, bisa jadi tidak tahu harus melapor pada siapa, atau mau lapor malah dapat tekanan dan ancaman, dan sebagainya. Banyak sekali faktor yang memengaruhi jumlah pelapor.

Kalau dinyatakan: Side effect vaksin menyebabkan gejala A dengan probabilitas 1: 100, 10: 500…. X:Y. Semoga sample manusia yang memang diteliti jumlahnya banyak karena akan berbeda bacaan meski sama sama 80 persen antara 100 orang dan 10 orang sample.

Saya justru tertarik melihat probabilitasnya. Bagaimana penentuan probabilitas X:Y. Bagaimana jumlah X dan Y ditentukan? Apakah sudah mencakup seluruh komponen pengguna vaksin?

Kalaupun dinyatakan mencakup keseluruhan komponen pengguna. Bagaimana bisa yakin anak saya bukan 1 diantara segelintir orang yang akan terkena side effeknya?

Saya yakin para pembuatnya bertujuan memberi solusi permasalahan. Semoga sebelumnya sudah diketahui betul solusi yang diberikan tidak akan menimbulkan permasalahan baru. Melihat penemuan nuklir, pestisida, penggunaan GMO, bahan pengawet, dan sebagainya, saya yakin tujuan awalnya mulia, tapi apakah side effectnya sudah tuntas diteliti sebelum dipasarkan?

Baru ketika muncul banyak laporan negatif, manusia kebingungan dan ingin kembali hidup secara natural. Melihat ada banyak sekali manipulasi data kesehatan, konspirasi lembaga sekelas internasional, dan sebagainya.

Sudah bulat keputusan saya untuk tidak menyerahkan begitu saja kesehatan anak kepada orang lain. Sayalah yang diberi amanah, maka saya pula yang harus menjamin kesehatan mereka. Saya harus memastikan segala tindakan memang aman untuk mereka agar tidak menyesal kemudian.

To all Patients, be literate and speak up.

*) Penikmat literasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement