Selasa 01 Jun 2021 09:23 WIB
Haul Sukarno

Jiwa Besar Sukarno demi Pancasila

Kelahiran Pancasila tak lepas dari peran Presiden Sukarno bersama ulama

Presiden Sukarno
Foto:
Pancasila

Berdasarkan catatan sejarah, sebelum Sukarno menyampaikan pidato tentang dasar negara pada 1 Juni 1945, sidang BPUPKI telah mendengarkan pidato anggota BPUPKI lainnya. Salah satunya adalah pucuk pimpinan Muhammadiyah kala itu, Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus mengusulkan agar negara Indonesia berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Alquran dan hadis, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh.

Ia mengingatkan, sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia. Kemudian, selama tiga abad sebelum Belanda menjajah, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Maka tak mengherankan dalam pidato 1 Juni 1945 Sukarno 10 kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo. Sukarno sangat segan kepada Ki Bagus walau keduanya berlainan pendapat dan pandangan dalam banyak hal prinsip.

Perdebatan antara dua tokoh bangsa terkait prinsip ketuhanan yang diusulkan sebagai sila kelima. Ki Bagus Hadikusumolah yang dengan gigih berdebat dengan Sukarno sampai di luar sidang. Ujung-ujungnya, Sukarno berjiwa besar dan menangis di hadapan Ki Bagus. Prinsip ketuhanan akhirnya menjadi prinsip pertama yang diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI.

Muhammad Yamin menyebutnya Piagam Jakarta. Mengutip dari Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahan memperoleh dasar yang kokoh.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai Sukarno berpikir substantif saat berpidato mengenai dasar negara. Menurut Haedar, pikiran substantif saat itu memiliki pengaruh besar. "Tidak ada maksud membuat Ketuhanan tidak penting. Logika beliau lebih ke subtantif, tidak ke struktural," kata Haedar kepada Republika, Senin (22/5).

Ia mengingatkan, setiap orang pasti memiliki kelemahan berpikir, maka satu pemikiran berkembang jangan kemudian dianggap sebagai pikiran absolut. Sukarno kerap pula mengaitkan ketuhanan dengan kebudayaan. Hal itu tentu tidak bisa diartikan kalau Putra Sang Fajar menganggap ketuhanan di bawah kebudayaan.

Haedar menilai pemikiran yang diungkapkan siapa pun memang tidak bisa selalu dianggap pikiran final. Sebab, selalu ada sisi lemah dan kurangnya meski tentu memiliki subtansi tertentu. Hal itu terbukti dari keputusan akhir Pancasila yang malah menempatkan ketuhanan di nomor satu. "Kenyataannya, pada kompromi terakhir Agustus itu sila pertama jadi ketuhanan dan ditambah atribut Yang Maha Esa. Kebudayaan ada di sila kelima," ujar Haedar.

Lebih lanjut dia mengatakan, Sukarno pada dasarnya bersifat akomodatif terhadap umat Islam. Sikap tersebut juga terlihat tatkala konstituante gagal pada 1959 hingga berujung pada lahirnya dekrit. Sukarno pula yang menegaskan Piagam Jakarta merupakan penjiwaan dari UUD 1945 yang kembali mengungkap sikap akomodatif Bung Karno terhadap umat Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement