Rabu 03 May 2017 23:11 WIB

6,6 Juta Anak Terancam Bahaya karena Belajar di Kelas Rusak

Pelajar menyelamatkan kursi yang masih bisa dipakai dari ruangan kelas yang rusak parah di SD Negeri Batutulis 04, Bogor Selatan, Kota Bogor, Jabar, Selasa (24/5).
Foto: Antara
Pelajar menyelamatkan kursi yang masih bisa dipakai dari ruangan kelas yang rusak parah di SD Negeri Batutulis 04, Bogor Selatan, Kota Bogor, Jabar, Selasa (24/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hak anak atas infrastruktur pendidikan yang aman dan layak belum dapat sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam empat bulan   terakhir, SDN Paku Alam di Kota Tanggerang Selatan, SDN Cangkring II di Kabupaten Indramayu, dan SDN Ciptamargi 2  diKabupaten Karawang kembali roboh, meski baru saja diperbaiki kurang dari 5 tahun yang lalu.

Kasus tersebut menambah daftar panjang kelalaian pemerintah dan pemerintah   daerah terhadap hak anak atas infrastruktur pendidikan yang aman dan layak. Saat ini, ada 18,6 persen ruang kelas SD dan 16,62 persen ruang kelas SMP di Indonesia yang rusak. 

Setidaknya ada 6,6 juta anak yang terancam bahaya karena belajar di ruang kelas yang rusak dan bisa roboh kapan saja. Sejak 2014 telah jatuh 105 anak korban luka dan 4 anak korban jiwa di tingkat SD dan SMP. Saat ini masih ada 45 persen SD dan 31 persenSMP yang belum memilikiperpustakaan. YAPPIKA-ActionAid juga menemukan sekolah-sekolah yang tidak memiliki toilet atau toilet yang tidak layak di tiga wilayah program di Kabupaten Bogor, Serang, dan Kupang. Kapasitas anggaran pemerintah pusat hanya bisa memperbaiki rata-rata 9.280 ruang kelas SD per tahun dari hampir 200 ribu ruang kelas SD yang rusak. Jika tanpa perubahan, maka butuh waktu 21 tahun untuk memperbaiki seluruh ruang kelas SD yang rusak. 

anager Program YAPPIKA-ActionAid Hendrik Rosdinar mengungkapkan, pemerintah daerah di 10 kabupaten/kota yang diteliti oleh YAPPIKA-ActionAid pada 2016 rata-rata juga hanya mengalokasikan 0,99 persen untuk perbaikan dan pembangunan ruang kelas baru. "Pemerintah juga belum mewajibkan penyediaan perpustakaan   dan toilet di setiap sekolah dalam Standar Pelayanan Minimal. Selain itu, ada pula persoalan data sekolah yang tidak akurat dan indikasi penyalurannya dana perbaikan sekolah yang tidak tepat sasaran," ujarya, Rabu (3/5).

Melalui pengecekan cepat di lapangan, Hendrik menambahlkan, ditemukan dua dari lima SD penerima dana perbaikan ruang kelas di Kabupaten Serang dan tiga SD   penerima dana perbaikan ruang kelas di Kabupaten Bogor,kondisinya tidak lebih parah dibandingkan dua SD lain masing-masing di Kabupaten Serang dan Bogor.  

Hendrik mengatakan, hal ini menunjukkan buruknya perencanaan, pengelolaan, dan   pengawasan dana perbaikan sekolah oleh pemerintah. 

Menghadapi hal tersebut, YAPPIKA-ActionAid mengadakan kampanye yang bertajuk Darurat Sekolah untuk mendesak pemerintah agar bertindak dan mengatasi persoalan sekolah rusak. Selain itu juga memenuhi hak anak atas infrastruktur pendidikan yang aman dan layak. 

Melalui kampanye ini, dia mengayakan, YAPPIKA-ActionAid mendorong Pemerintah   Pusat dan Pemerintah Daerah untuk terus meningkatkan alokasi anggaran untuk   perbaikan dan pembangunan ruang kelas baru. Juga memperbaiki tata kelola dana   perbaikan sekolah menjadi lebih transparan dan partisipatif.

YAPPIKA-ActionAid dia mengatakan, juga mengajak masyarakat untuk terlibat dengan menyampaikan pengalaman dan pendapatnya soal persoalan infrastruktur  pendidikan di media sosial dan menyertakan tagar #DaruratSekolah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement