Ahad 09 Apr 2017 06:05 WIB

Bahasa yang Religius

Didin Hafidhuddin
Foto: ROL
Didin Hafidhuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS

Para pendiri (The Founding Fathers) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini, dengan kebersihan, kejernihan dan kerendahan hatinya, serta kecerdasan pikirannya yang jauh ke depan melampaui masanya, telah menempatkan kata-kata Allah pada alinea ketiga pembukaan undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

Penempatan kata-kata Allah tersebut mengandung makna yang sangat dalam dan sangat prospektif. Antara lain sebagai berikut: pertama adanya kesadaran tauhid yang sangat kuat dari para pendiri bangsa ini, bahwa tanpa pertolongan Allah SWT tidak mungkin mereka bisa merebut kemerdekaan dari cengkraman penjajah. Tidak mungkin bambu runcing bisa mengalahkan senjata yang lengkap dan canggih, kalau tanpa rahmat, kasih sayang, dan pertolongan-Nya.

Kesadaran tauhid ini sesungguhnya telah tertanam jauh sebelumnya seperti pada Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Panglima Polim dan yang lainnya, yang dengan gagah berani melawan penjajah, rela mengorbankan harta jiwa dan raganya. Mereka rela mati syahid karena panggilan akidah tersebut dan disertai keyakinan bahwa orang yang mati syahid akan mendapatkan kenikmatan dari Allah SWT pada saat menghadap-Nya.

Firman-Nya dalam QS. Ali Imran [3] ayat 169-171: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki (169). Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (170). Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman (171).”

Kedua, agama khususnya agama Islam telah mendarah daging masuk kedalam struktur rohani dan kepribadian bangsa dalam berbagai aspek kehidupan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, yang menempatkan agama diatas segala-galanya. Upaya untuk memisahkan agama dari kehidupan bangsa Indonesia, yang disamping menggambarkan sikap yang ahistoris, juga adalah sama dengan merusak jati diri bangsa Indonesia.

Meskipun secara formal Indonesia bukan negara agama, tetapi bukan pula negara yang ingin mengeliminir agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat membahayakan jika agama diperlakukan demikian, membahayakan NKRI sekaligus membahayakan dasar negara Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Upaya sekularisasi kehidupan harus dicegah oleh semua pihak baik pemerintah, para alim ulama, para tokoh pendidikan dan seluruh masyarakat yang memiliki cita cita dan keinginan yang sana untuk mempertahankan NKRI dan Pancasila. Di dalam Alquran surat Al-Qashash [28] ayat 78-81 digambarkan kehancuran Qarun yang memilki harta yang banyak, tetapi didapatkan dan dipergunakan dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai agama yang dibawa oleh Nabi Musa AS. Ternyata kemewahan material tidak membawa pada kesejahteraan, kesuksesan, bahkan juga tidak membawa pada keselamatan dunia dan akhirat. Yang ada hanyalah kehancuran yang sehancur-hancurnya.

Betapa bahayanya paham sekuler bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara sehingga dijadikan salah satu dari tiga paham yang sesat menyesatkan yang telah difatwakan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya no 5 tahun 2005 (yaitu sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Berkaitan dengan dengan paham sekuler ini, pernyataan KH Maruf Amin (ketua umum MUI) di Republika online Senin 27 Maret 2017 menarik untuk digaris bawahi. Beliau menyatakan bahwa radikalisme agama dan radikalisme sekuler merupakan ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Radikalisme agama selama ini sudah banyak dibahas, bahkan negara telah membentuk badan khusus bernama Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) dan dilengkapi lagi sebuah detasemen khusus bernama Detasemen Khusus 88 (Densus 88).

Yang menarik adalah negara tidak mewaspadai bahaya radikalisme sekuler yang juga bertentangan dengan ideologi negara Pancasila. Sampai saat ini, tidak ada aparat negara yang berteriak keras tentang perlunya mewaspadai paham radikalisme sekuler yang merebak di Indonesia. Tidak ada dibentuk badan khusus penanggulangan bahaya sekulerisme. Tidak ada detasemen khusus yang ditugaskan untuk itu.

Apa itu radikalisme sekuler? Harvey Cox, seorang pakar sekulerisme, merumuskan 3 pilar sekulerisme, yaitu: 1. Dischanment of nature, 2. Desacralization of politics, dan 3. Deconsecration of values.

Dischanment of nature artinya kehidupan dunia harus disterilkan dari pengaruh ruhani dan agama. Sekuler liberal membatasi peran agama sebatas persoalan personal. Agama hanya cukup sampai dinding masjid atau gereja. Di luar itu, akal manusia lah tuhannya. Sekuler radikal ingin menyingkirkan agama dari kehidupan. Ini beda tipis dengan komunisme.

Desacralization of politics artinya dunia politik harus dikosongkan dari pengaruh agama dan nilai spiritual. Politik semata urusan akal manusia. Agama dan segala simbolnya dilarang terlibat dalam urusan politik. Agama sendiri, politik itu wilayah tersendiri yang harus dipisahkan. Keduanya tidak bisa disatukan.

Deconsecration of values maksudnya tidak ada kebenaran mutlak. Nilai-nilai bersifat relatif. Doktrin ini menisbikan kebenaran yang ada dalam kitab suci. Bagi mereka kitab suci itu hanya buatan manusia. Oleh karena itu penganut paham ini suka mengolok-ngolok kitab suci mereka sendiri, termasuk kitab suci orang lain. (dikutip dari berbagai sumber, termasuk dari WhatsApp).

Mudah-mudahan Indonesia bebas dari ancaman ideologi sekuler radikal ini dan tetap menjadi bangsa yang religius, yang menempatkan ajaran agama di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Amin.

Wallahu a'lam bishawwab.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement