Selasa 04 Apr 2017 01:26 WIB

Radang Otak Paling Banyak Terjadi di Bali

Rep: Rr Laeny Sulistywati/ Red: Indira Rezkisari
Otak manusia
Foto: flickr
Otak manusia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat Japanese encephalitis (JE) atau penyakit radang otak pada 2016 lalu terbanyak dilaporkan terjadi di Bali.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Elizabeth Jane Soepardi, mengatakan, JE disebabkan oleh virus Japanese ensefalitis yang termasuk family Flavivirus. JE diakuinya merupakan masalah kesehatan masyarakat di Asia termasuk di Indonesia.

Jumlah kasus JE di Indonesia tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 326 kasus. "Kasus terbanyak dilaporkan terdapat di Provinsi Bali dengan jumlah kasus 226 (69,3 persen). Di Bali, tingginya kejadian Japanese Encephalitis dikaitkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di area tersebut, katanya,  seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (3/4).

Diakuinya, sebagian besar penderita JE hanya menunjukkan gejala yang ringan atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Gejala dapat muncul lima sampai 15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi virus berupa demam, menggigil, sakit kepala, lemah, mual, dan muntah. Kurang lebih satu dari 200 penderita infeksi JE menunjukkan gejala yang berat yang berkaitan dengan peradangan pada otak (encephalitis), berupa  demam tinggi mendadak, sakit kepala, kaku pada tengkuk, disorientasi, koma (penurunan kssadaran), kejang, dan kelumpuhan.

Gejala kejang sering terjadi terutama pada pasien anak-anak. Gejala sakit kepala dan kaku pada tengkuk terutama terjadi pada pasien dewasa. Keluhan-keluhan tersebut biasanya membaik setelah fase penyakit akut terlampaui, tetapi pada 20-30 persen pasien, gangguan saraf kognitif dan psikiatri dilaporkan menetap. "Komplikasi terberat pada kasus japanese encephalitis adalah meninggal dunia yang terjadi pada 20-30 persen kasus encephalitis," katanya.

Ia menyebut tidak bisa sembarangan menyatakan seseorang didiagnosis JE, selain berdasarkan pemeriksaan fisik atas gejala, juga diperlukan pemeriksaan laboratorium dan tidak bisa dilakukan di laboratorium klinik biasa. Hingga saat ini, diakuinya belum ada obat untuk mengatasi infeksi JE, pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE.

Pengobatan yang diberikan adalah berdasarkan gejala yang diderita pasien, istirahat, pemenuhan kebutuhan cairan harian, pemberian obat pengurang demam, dan pemberian obat pengurang nyeri. Pasien perlu dirawat inap supaya dapat diobservasi dengan ketat, sehingga penanganan yang tepat bisa segera diberikan bila timbul gejala gangguan saraf atau komplikasi lainnya.

Sebanyak 85 persen kasus JE yang dilaporkan pada tahun 2016 terjadi pada kelompok umur sekitar kurang dari sama dengan 15 tahun. Hal ini menyebabkan JE dianggap sebagai penyakit pada anak. Padahal, sebenarnya JE juga dapat berjangkit pada semua umur, terutama bila virus tersebut baru menginfeksi daerah baru dimana penduduknya tidak mempunyai riwayat kekebalan sebelumnya.

Intervensi yang paling utama dalam penanggulangan JE adalah pengendalian vektor, eliminasi populasi unggas, vaksinasi pada babi, eliminasi pemaparan manusia pada vektor, dan imunisasi JE pada manusia. Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia.

“Pada September 2017 mendatang, Kemenkes akan mulai mengkampanyekan imunisasi JE di 9 Kabupaten/Kota di Bali dengan sasaran sebanyak 897.050 anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun," ujarnya.

Ia menambahkan, setelah selesai dilakukan kampanye imunisasi JE, maka langkah selanjutnya adalah  introduksi imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin pada anak usia 9 bulan yang dilaksanakan bersamaan dengan imunisasi campak. Perluasan introduksi imunisasi JE akan dilaksanakan berdasarkan kajian endemisitas wilayah masing-masing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement