Senin 27 Feb 2017 06:30 WIB
Peringati 100 Tahun Kebangkitan Nasional

Saat Keinginan Kuat Bisa Menaklukkan Badai di Merauke

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Merauke
Foto: BMH
Merauke

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang pensiunan salah satu bank di BUMN, Saleh Sudrajat, telah menjadi anggota Wanadri, sejak 1971. Setelah puluhan tahun menjadi anggota Wanadri, moto organisasi perhimpunan pendaki gunung dan penempuh rimba tersebut, terus mengiang di telinganya. Bahkan, mungkin sudah mendarah daging di nadinya.

Moto tersebut, adalah 'Tak ada gunung yang tinggi, jurang curam, dan lautan dalam yang tak dapat dijelajahi oleh Wanadri'. Di usianya yang tak muda lagi yakni 56 tahun, keinginannya semakin kuat untuk mewujudkan moto tersebut menjadi nyata, tak hanya menjadi tag line semata.

Demi mewujudkan moto tersebut, Ia pun memiliki ide yang nyaris mustahil. Apa gerangan. Ya ide itu adalah melakukan ekspedisi terbang solo dari Sabang sampai Merauke. Selama satu tahun, pria yang akrab disapa Usol alias Ujang Soleh ini, mencari sponsor untuk mewujudkan mimpinya.

Untunglah, Kementerian Pemuda dan Industri Olahraga Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, menyambut baik keinginan dan mimpi Uleh. Apalagi, ekspedisi ini dilakukan dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Sebelumnya, walaupun peringatan Kebangkitan Nasional sudah diperingati satu abad, tapi belum ada satu orang pun yang bisa terbang solo Sabang sampai Merauke. 

Ekspedisi pun, dilakukan pada 15 Mei hingga 17 Juni 2008. Dalam ekspedisi tersebut, Usol menggunakan pesawat Pegasus GT 450-9125-100HP dan menyinggahi 32 kota. Keberangkatan perdana dimulai dari Bandara Maimun Salah di Kota Serang menuju Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, dan kota-kota lainnya dan berakhir di Merauke.‬ Namun, dalam perjalanan tersebut, Usol ternyata mengambil jalur penerbangan yang tak biasa.

Pria yang sebenarnya tak memiliki keahlian membawa pesawat tersebut, menempuh jalur yang bukan jalur biasa penerbangan komersil. Yakni, Sabang ke Merauke melewati Nusa Tenggara. Konon, jalur ini pernah digunakan sebagai jalur penerbangan pada perang dunia.

Sembilan tahun sudah, ekspedisi tersebut berlangsung. Namun, tak habis cerita unik menginspirasi yang bisa digali. Oleh karena itu, Wanadri membuka kembali cerita ekpedisi tersebut, melalui sebuah diskusi di Gedung Auditorium Museum Geologi, Sabtu (27/2). Hadir dalam acara tersebut, puluhan generasi muda sebagai generasi penerus Wanadri.

"Saya orang pertama di Indonesia, yang terbang solo dari Sabang sampai Merauke. Sampai sekarang, belum ada yang melakukannya lagi," ujar Usol.

Usok mengatakan, saat itu, kendala yang paling berat harus Ia taklukan adalah kendala cuaca yang tak bersahabat. Yakni, dari mulai hujan, angin sampai badai.

Karena, kata dia, segmen penerbangan yang diambilnya sangat high risk. Bahkan, sudah diprediksi akan ada badai. Jadi, Ia pun  memajukan penerbangan selama tiga jam setengah untuk menghindari badai tersebut.

Namun, badai tersebut ternyata datangnya lebih cepat. Uleh pun berusaha sekuat tenaga untuk menaikkan posisi pesawat yang posisinya terus turun. Namun, usahanya sia-sia, pesawatnya terus  turun hingga 1.000 kaki. Tiba-tiba, ada kekuatan entah dari mana, pesawatnya pun bisa naik kembali dan keluar dari pusaran badai.

"Ga tau ada kekuatan apa. Saya sudah pasrah bukan hanya berdoa. Saya bisa selamat karena Allah," katanya.

 

Usol mengaku, saat itu, pesawatnya sempat terumbang-ambing. Bahkan, dari hasil rekaman, jalurnya terlihat seperti benang kusut.

"Pesawat sempat di rock and roll, rekamannya benang kusut. Saya dihanyutkan oleh badai, tapi di bawa keluar oleh badai," katanya.

Saat melewati badai itu, kata dia, posisinya masih jauh karena melewati Timika, Asmat dan Meruke. Yakni, sekitar 4 hari perjalanan lagi. Sebenarnya, pada waktu badai terjadi, pilot profesional yang memandu telah meminta Usol untuk kembali lagi ke Timika.

"Saya sudah diminta balik lagi ke Timika oleh pilot profesional. Tapi, sudah sejam lagi kalau balik lagi sama saja. Akhirnya terus saja," katanya.

Menurut Uleh, sebelum melakukan penerbangan, sebenarnya Ia telah mengetahui risiko yang akan terjadi. Namun, tekadnya sangat kuat untuk mewujudkan keinginannya melakukan ekpedisi Sabang-Merauke ini. Apalagi, sekaligus memperingati satu abad kebangkitan nasional.

"Ini adalah perjalanan saya yang paling menantang, apalagi saya tak punya basic di penerbangan," katanya.

Sementara menurut Yudi Sudjudiman, dari Yayasan Wanadri Bagian Pelatihan, ekpedisi tersebut memang sudah lewat, tapi Ia melihat, dulu publikasinya terbatas. Jadi, Ia ingin mengangkat kembali cerita ekspedisi tersebut untuk mengangkat berbagai hal yang bisa menginsipirasi anak-anak muda di Kota Bandung.

"Ini insipirasi untuk generasi muda. Pekerjaan keras, luar biasa memang harus ditempuh untuk keinginan yang sulit. Kami ingin menyampaikan keinginan kuat harus disertai dengan kerja keras," katanya.

Menurut Yudi, keinginan Uleh untuk melakukan penerbangan solo tersebut, sebenarnya sudah sering diungkapkan. Namun, mulai serius saat Usol memasuki pensiun. Untuk mewujudkan keinganan Uleh, Ia pun berembug dengan anggota Wanadri yang lain. Karena, agar bisa terbang, harus punya jam terbang, harus punya pesawat, dan lain-lain.

"Walaupun 'gila', tapi jangan gila-gilaan, jadi  harus di dukung," katanya.

Menurut Yudi, hal pertama yang dilakukan untuk mewujudkan keinganan Uleh adalah memintanya untuk kursus penerbangan yang tarifnya mencapai Rp 20 juta. Saat itu, Uleh hanya memiliki uang Rp 5 juta. Agar bisa kursus, Usol harus meminjam ke saudaranya.

"Sebetulnya nggak yakin amat dia bisa, tapi ya sudah kita ikuti prosedur saja," katanya.

Dikatakan Yudi, beruntung setelah setahun mencari sponsor, Wanadri akhirnya berhasil meyakinkan Kemenpora. Sehingga, mau membiayai ekspedisi ini. Bahkan, membelikan pesawat yang akan digunakan.

"Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar. Kami ingin membagi semangat ini, dengan generasi muda," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement