Pekan lalu di Bandung, ketika saya mau masuk lift di hotel, tiba-tiba ada yang menepuk bahu saya. Ketika saya refleks menengok ke belakang, ternyata seorang teman yang saya tidak pernah bertemu lebih dari 10 tahun. Seorang sahabat lama. Kami pun berpelukan dan saling menyapa akrab.
Teman saya ini dulunya seorang pimpinan bank swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Kini, tubuhnya lebih kurus. Wajahnya menua, tetapi terlihat segar dan bugar. "Ini teman saya yang paling optimistis," kata dia menyapa saya. Tanpa disengaja, saya tertawa mengelak.
Entah mengapa dia membaca sebuah keraguan dalam tawa saya. Lalu, kami makan malam bersama. Dan, kami saling bertukar cerita. Ia penasaran mengapa dalam tawa saya tadi ada kegalauan yang rada pesimistis. Saya menuturkan, barangkali saya lebih realistis sekarang.
Sambil bercerita kepada beliau sejumlah rasa khawatir saya tentang kerapuhan yang sedang bergolak dalam masyarakat majemuk kita dan bahaya kalau kerapuhan itu akhirnya menjadi nilai-nilai keropos bangsa ini. Usai saya bercerita, ia bercerita tentang sesuatu yang membuat saya terkejut.
Ia bercerita bahwa ia adalah survivor penyakit kanker. Menurutnya, sebuah kalimat dari saya telah menyelamatkan hidupnya. Lebih dari 10 tahun yang lalu ketika ia masih menjadi pejabat tinggi di sebuah bank, saya sempat memberikan workshop pemasaran di perusahaannya. Entah mengapa teman saya ini mencatat sebuah peribahasa Jepang yang saya kutip pada akhir workshop itu. Kutipan itu adalah: "Nana korobi ya oki" atau terjemahannya "Jatuh tujuh kali! Bangkit delapan kali". Sebuah peribahasa yang sering saya gunakan membangkitkan motivasi orang agar lebih optimistis.
Saya sendiri diperkenalkan pada peribahasa ini sekitar pertengahan tahun 80-an oleh seorang eksekutif Jepang. Saat itu, dengan serunya kami sedang membahas dominasi globalisasi Jepang mulai dari TV Games, mobil, hingga kecap asin. Di dalam diskusi seru itu, sang eksekutif bercerita tentang peribahasa tersebut. Esensi peribahasa itu melekat sangat pada hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Jepang mulai dari kehidupan sehari-hari hingga seni dan juga bela diri.
Intinya jangan pernah mau takut gagal. Jangan pernah mau menyerah. Selalu siap siaga. Kalau jatuh, bangun lagi. Dan seterusnya. Sebuah konsep yang menyertai peribahasa tersebut adalah gambaru yang secara sederhana dapat kita terjemahkan sebagai semangat pantang menyerah. Apa pun kesulitan yang kita hadapi, sebuah amanah, dan sebuah tugas selayaknya harus diselesaikan dengan tuntas tanpa terkecuali. Pelajaran dari teman ini melekat dalam pada diri saya. Pada akhirnya secara perlahan dan revolusioner hal ini menempa diri saya menjadi lebih percaya diri. Lebih optimistis.
Membantu saya dalam begitu banyak dalam pekerjaan dan hidup saya, termasuk karier saya sebagai seorang motivator. Persepsi hidup saya jauh lebih rileks dan melihat hidup sebagai sebuah tantangan dan bukan lagi sebagai lomba yang menentukan menang atau kalah. Hidup menjadi jauh lebih menarik bahwa kita tidak selalu harus menang. Karena, keberhasilan itu tidak selalu berarti sebuah kemenangan. Hidup menjadi lebih bernilai karenanya. Titik akhir bukan lagi menjadi sebuah garis finis.
Titik akhir kini menjadi sebuah tempat kita bersujud untuk berterima kasih kepada Tuhan bahwa kita diberi kesempatan untuk berkarya dan menyelesaikan karya itu dengan sebaik-baiknya. Hellen Keller dalam kuliah legendarisnya pada 22 Januari 1916 di Mabel Tainter Memorial, Wisconsin, Amerika Serikat, mengungkapkan, semangat optimisme adalah modal yang membawa kita pada harapan dan percaya diri yang membuat kita berhasil.
Kuliah Hellen Keller ini menjadi pegangan hidup saya bertahun-tahun. Teman saya rupanya terkesan dengan semangat yang sama. Ia menuturkan, pada saat ia menonton workshop saya secara iseng, ia mencatat peribahasa Jepang itu di sebuah buku oret-oretannya. Lalu, lupa sama sekali dengan peribahasa itu. Beberapa tahun kemudian, ia terserang penyakit kanker. Ia berhenti dari pekerjaannya dan mencoba fokus untuk berobat. Sejumlah ketakutkan menghantui hidupnya. Mulai dari tidak bisa tidur, stres, dan perubahan sikap menjadi pemarah.
Alkisah, suatu malam ketika tidurnya terusik, ia bangun dan mencoba membaca di ruang kerjanya di rumah. Ketika sedang mencari bahan bacaan, ia menemukan buku oret-oretan lama itu. Entah itu sebuah keajaiban atau apa, ia pun tidak pernah tahu pasti. Tanpa sengaja ia membaca peribahasa Jepang itu. Seluruh perjalanan hidupnya mulai dari kuliah, menikah, memiliki anak, hingga sakit tiba-tiba terlintas satu babak demi satu babak di ingatannya. Ia merasakan benar betapa peribahasa itu menjadi sebuah tiang kehidupan dalam perjalanan karier dan hidupnya.
Peribahasa itu melukiskan hidupnya secara pas selama puluhan tahun ketika ia optimistis dan berjuang pantang menyerah. Hidup ini selalu memberikannya ganjaran kebaikan yang positif. Ia pun melahirkan sebuah tekad baru. Sama dengan tantangan lainnya ia akan melawan penyakitnya.
Ini cuma tantangan dalam bentuk lain. Ia bertekad melewati garis finis yang berikutnya. Dengan optimistis dan penuh semangat ia maju dan berobat. Ia berhasil melawan sang penyakit. Beberapa tahun terakhir, ia mencoba mencari saya. Ia merasakan satu kalimat dari saya berhasil menyelamatkan hidupnya. Barulah malam itu kami sempat bertemu dan ia bercerita tentang pengalamannya. Kami berdua akhirnya mensyukuri kejadian itu. Saya mengalami kejadian serupa itu sangat banyak. Bentuknya selalu berbeda. Itu sebabnya saya mencintai pekerjaan saya sebagai seorang inspirator dan motivator.
Bukan karena reward-nya secara finansial, tetapi kesempatan saya untuk menebar bibit-bibit kebaikan. Karena saya selalu yakin kebaikan yang kita sebarkan akan tumbuh dan sering kali membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi banyak orang. Bersikap optimistis adalah langkah pertama yang terpenting dalam kehidupan ini. Sikap yang paling kritis. Tanpa optimisme hidup kita tak ubahnya seperti sebuah buku, di mana tiap halaman memperlihatkan keraguan dan ketakutan yang berbeda-beda. Buku ini bisa saja sangat tebal karena keraguan dan ketakutan di halaman sebelumnya akan berlipat ganda menjadi sebuah cerita yang di ujungnya berakhir sangat tragis. n
Kafi Kurnia
Motivator dan Pakar Marketing