Senin 16 Jan 2017 14:00 WIB

Dana Haji untuk Bangun Infrastruktur

Red:

Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat untuk orang lain, begitu sabda Nabi Muhammad SAW. Saat ini, ada kesempatan sangat baik bagi kaum Muslimin di Indonesia, khususnya jamaah haji yang masih dalam daftar tunggu mewujudkan hadis itu.

Kesempatan itu berkaitan dengan usul Kepala Bappenas sekaligus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brojonegoro, tentang pemanfaatan dana setoran haji untuk pembiayaan berbagai proyek pembangunan infrastruktur di negeri ini.

Kita tahu, daftar tunggu haji di Indonesia sangat panjang, berkisar belasan bahkan ada yang sampai 20 tahun lebih. Sementara, saat mendaftar untuk mendapatkan peluang ke Tanah Suci, jamaah telah menyetor sekitar dua pertiga dana haji.

Diperkirakan, dalam setahun ada dana haji terkumpul sekitar Rp 8 triliun hingga Rp 9 triliun. Per 2016, berdasarkan data Kementerian Agama, telah terkumpul dana haji sebesar Rp 89,9 triliun (Republika, 14 Januari 2017).

Wacana Menteri Bambang Brojonegoro sangat menarik untuk ditanggapi. Sebab, pada postur APBN 2017, kita melihat defisit yang cukup mengkhawatirkan. Pada postur APBN 2017, pendapatan dianggarkan sebesar Rp 1.750,3 triliun dan belanja Rp 2.080,5 triliun.

Defisit sebesar Rp 330,2 triliun ditutup dengan utang. Defisit bisa semakin besar jika pendapatan ternyata tidak bisa direalisasikan sesuai rencana. Terlihat jelas bahwa APBN 2017 kita memang besar pasak daripada tiang.

Dari anggaran belanja itu, sebesar Rp 764,9 triliun dialokasikan sebagai dana transfer ke daerah dan dana desa, dengan tujuan memperkuat desentralisasi fiskal. Salah satu realisasinya, percepatan pembangunan infrastruktur dasar (sumber: kemenkeu.go.id/apbn2017).

Percepatan pembangunan infrastruktur dasar memang semestinya menjadi fokus garap pemerintah. Infrastruktur yang buruk sangat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Sebagai contoh, saat ini terdapat ketimpangan pembangunan yang sangat jelas antara desa dan kota serta antara Jawa dan luar Jawa, khususnya Indonesia Timur. Menurut data BPS terdapat 78.609 desa, dengan wilayah yang sangat luas.

Namun, jumlah penduduk perkotaan ternyata lebih besar, yakni 56 persen, sedangkan desa hanya 44 persen. Hal ini karena pembangunan di desa sangat minimalis, mata pencaharian terbatas, dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah.

Sementara di Papua, bahkan sayuran pun diangkut dengan pesawat terbang, yang membuat harga-harga melambung sangat tinggi. APBN yang telah defisit bahkan sejak perencanaan, tentu memperlihatkan bahwa negara ini memang sedang menghadapi masalah pelik.

Begitu peliknya, sampai-sampai timbul ide menyewakan pulau-pulau ke negara asing, dengan tujuan negara penyewalah yang mengurusi pembangunan infrastruktur di pulau tersebut. Sepintas, ide itu terlihat logis.

Namun, penguasaan pulau-pulau oleh negara asing berpotensi menimbulkan masalah bagi kedaulatan negeri ini, sehingga tampaknya perlu ditinjau kembali. Sebagai umat Islam, kita tidak bisa berkilah dengan mengatakan, itu urusan negara.

Maka itu, meminjamkan dana haji untuk pembangunan infrastruktur menjadi hal yang menarik sebab infrastruktur yang baik akan memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Saat ini, dana haji baru sebatas dimanfaatkan melalui tiga skema, yaitu untuk membeli Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Surat Utang Negara (SUN), dan deposito berjangka. Sudah saatnya dana haji diputar untuk sesuatu yang lebih besar memberikan mashlahat terhadap umat.

Terlebih, pembangunan infrastruktur dasar akan banyak terjadi di daerah, khususnya perdesaan. Sementara jamaah haji regular, sebagian berasal dari perdesaan. Namun, tentu perlu mekanisme yang penuh kehati-hatian.

Sebab, banyak di antara jamaah haji reguler tersebut yang bukan dari kalangan atas. Banyak di antara mereka yang mengumpulkan biaya haji sedikit demi sedikit dengan niat tulus untuk mengunjungi Baitullah. Oleh karena itu, perlu ditempuh sejumlah langkah.

Pertama, keterbukaan dan akad yang jelas antara pemerintah dan pemilik dana haji, yakni jamaah. Sejak awal, perlu ditawarkan, apakah mereka bersedia meminjamkan dana haji tersebut untuk proyek pembangunan infrastruktur.

Mungkin hal ini akan menuai ketidaksetujuan sebagian jamaah, tetapi akan didukung oleh sebagian yang lain. Dengan sosialisasi yang intensif dan meluas, jumlah yang mendukung semakin lama akan semakin besar.

Kedua, jaminan bahwa uang akan kembali sehingga harapan jamaah untuk bisa melaksanakan rukun Islam kelima tidak akan pupus karenanya. Untuk itu, pemerintah harus memilih sektor pembiayaan yang tidak berisiko tinggi.

Ketiga, manajemen pemanfaatan dana harus betul-betul efektif, efisien, dan transparan sehingga alih-alih pemerintah tak mampu mengembalikannya, bahkan jika perlu, jamaah haji akan mendapatkan manfaat dalam bentuk bagi hasil.

Umat Islam dan sejarah berdirinya negara ini selalu seiring sejalan. Pada 10 November, dimotivasi resolusi jihad KH Hasyim Asy'ari, kaum Muslimin mengorbankan nyawa melawan tentara sekutu.

Di Aceh, kaum Muslimin mengumpulkan emas hingga mencapai 20 kilogram dan digunakan Presiden Sukarno untuk membeli Pesawat Dakota RI-001 Seulawah, pesawat pertama yang dimiliki Indonesia dan sangat besar peranannya dalam kemerdekaan RI.

Sekarang, saatnya umat Islam kembali berperan, dengan merelakan dana haji untuk menjadi salah satu sarana penutup defisit APBN, khususnya dalam pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang masih terbelakang. 

Yeni Mulati

Sekjen Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement