Jumat 13 Jan 2017 15:00 WIB

Ahli Sebut KUHP Perlu Reorientasi

Red:

JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UU No 1 Tahun 1946 Juncto UU No 73 Tahun 1956 tentang KUHP, Kamis (12/1). Agenda persidangan masih mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan pihak terkait.

Ahli pihak terkait Persistri yang juga guru besar Hukum Pidana Unisba Edi Setiadi memaparkan tentang perlunya reorientasi terhadap isi dan semangat KUHP yang ada saat ini. Sebab, sebut Edi, Pasal 5 UU No 1 Tahun 1946 sendiri sudah menyebutkan soal peninjauan kembali sebagian atau seluruh isi UU KUHP jika tidak lagi sesuai keadaan zaman.

"Jadi, pasal ini mempunyai makna dan fungsi sebagai alat untuk menilai kembali, menguji kembali ketentuan KUHP yang tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang," paparnya dalam persidangan.

Edi lantas menyebut secara khusus, Pasal 284 KUHP yang sedang diuji tidak sesuai lagi dengan keadaan, kondisi, dan suasana kebatinan sebagian rakyat Indonesia. Ia menerangkan, membentuk keluarga artinya tidak hanya ikatan antara suami dan istri, akan tetapi di dalamnya meliputi anak dan keluarga besar lainnya. Apalagi, dalam masyarakat Indonesia yang masih erat tali kekerabatannya.

Edi melihat, Pasal 284 KUHP hanya memandang ikatan perkawinan itu meliputi suami dan istri. Padahal, sebagaimana disebutkan di atas, pengertian keluarga dalam masyarakat Indonesia juga meliputi anak-anak dan keluarga besar lainnya.

Sehingga, perlindungan juga harusnya diberikan kepada seluruh anggota keluarga. "Dan, kalau bentuk perlindungan itu mencakup seluruhnya, maka mutatis mutandis rumusan pasal ini harus juga meliputi perzinaan yang dilakukan oleh anak, walaupun anak tersebut belum menikah," terang dia.

Pihak pemerintah yang diwakili Hotman Sitorus mengaku sepakat jika perzinaan adalah tindakan tidak bermoral. Namun, Hotman menegaskan jika asal hukum adalah tidak ada korban maka tidak ada kejahatan. Ia lantas mempertanyakan keterangan ahli yang menyebut korban yang besar adalah masyarakat.

Bagi Hotman, dalam hukum pidana definisi korban harus konkret, baik individu maupun entitas. "Apakah nanti jika ada perluasan pasal tetap mematuhi asas hukum pidana, no victim, no crime?" tanyanya.

Edi lantas menjawab bahwa yang menjadi korban akibat tidak direorientasinya Pasal 284 UU KUHP adalah lembaga perkawinan. Sebab, keluarga tidak hanya terdiri atas suami dan istri, tapi juga anak dan keluarga lain. "Jadi, pandangan bahwa kejahatan kesusilaan ini adalah kejahatan tanpa korban ini kita harus berpikir ulang," ungkap Edi.

Sementara, Psikolog Elly Risman mengemukaan, zina sudah menjadi pandemi dan gaya hidup saking banyaknya kejadian. Zina, papar dia, juga banyak dilakukan mulai usia anak-anak. Ia menyebutkan, berdasar data yang ia himpun pada 2016, 97 persen anak SD kelas 4, 5, 6 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, dan Semarang terpapar pornografi. "Sementara, pengaruh keterpaparan pornografi dengan zina sangat besar," ujar dia.

Elly mengaku, ia dan tim juga melakukan kajian berdasar berita di media jika di 34 provinsi terdapat banyak varian perilaku seksual. Ia mencontohkan guru sekolah sebagai pelaku kejahatan seksual ada di 27 provinsi. Anak SD pelaku kejahatan seksual ada di 12 provinsi.

Elly menyebut, beberapa temuan tersebut mengonfirmasi dampak kecanduan pornografi pada anak. Ia mengatakan, anak yang sudah kecanduan pornografi tidak akan mau melihat hal yang sama karena kebutuhannya terus meningkat. "Ujungnya, mereka melakukannya. Nah, jadi saya mau menunjukkan sedikit contoh pandemi berbagai bentuk kejahatan seksual atau zina karena pornografi," papar dia.      rep: Umar Mukhtar, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement