Senin 26 Dec 2016 15:00 WIB

Budaya Literasi

Red:

Ibu adalah peletak dasar peradaban. Ibu  yang cerdas akan mewariskan generasi cerdas. Ini terkait erat dengan proses belajar. Manusia dikatakan unggul apabila senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya.

Masyarakat modern tidak akan berkembang tanpa memiliki ilmu pengetahuan. Menurut para pakar, yang terpenting tak sekadar memiliki ilmu pengetahuan, tapi juga proses memilikinya dan memanfaatkannya.

Sebagaimana kita ketahui, proses belajar itu sebagian besar adalah melalui membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang secara cepat itu tidak mungkin lagi dapat dikuasai  melalui proses mendengar atau transisi  dari seorang guru, misalnya, tetapi harus lewat membaca.

Hampir 80-90 persen pengetahuan berasal dari membaca.  Menurut Tilaar (1999), membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia. Dengan demikian, masyarakat yang gemar membaca  akan melahirkan generasi  yang belajar (learning society).

Membaca adalah kaki kita. Makin gemar membaca maka makin kita memperoleh kaki yang kokoh dan kuat. Makin kita membaca makin hidup kita berkaki, demikian kata Sindhunata. Ini kalimat penuh spirit betapa pentingnya membaca agar hidup lebih bermakna.

Bermakna, karena hanya dengan membaca diri kita bisa berubah, pikiran dan perilaku kita juga berubah. Berubah  untuk mengenal segala potensi diri kita. Bukankah  mengenal potensi diri  merupakan modal untuk menebar manfaat kepada sesama agar hidup lebih bermakna.

Iqra, demikianlah ayat yang pertama kali diturunkan Allah SWT. Ada rahasia besar dalam perintah pertama Allah ini. Menurut tafsir Quraish Shihab  salah satu rahasianya  ada pada ayat  ketiga,  yaitu  iqra` warabbukal akram.

Menurut beliau, kata al-Akram  yang berbentuk superlatif  mengandung pengertian bahwa Allah akan menganugerahkan puncak dari segala hal yang terpuji  bagi semua hamba-Nya yang mau membaca. Terpuji di hadapan Allah, mulia di hadapan manusia karena  banyak ilmunya.

Pentingnya membaca ini pula yang kemudian menginspirasi Rasulullah mengambil langkah cerdas  pascaperang Uhud,  70 orang musyrikin Quraisy berhasil ditawan kaum Muslimin. Angka yang cukup fantastis untuk dijadikan alat tekan terhadap kabilah Quraisy di Makkah.

Namun, Rasulullah menempuh kebijakan lain. Sebagai gantinya, tawanan dibebaskan dengan syarat mengajari  membaca 10 Muslim. Rasulullah menyakini, membaca adalah langkah penting yang mengantarkan umat Islam ke gerbang kejayaan.

Sayangnya, minat baca di negeri ini masih sangat rendah. Indeks minat baca di Indonesia yang dikeluarkan UNESCO pada 2012 mencapai 0.001. Itu artinya, pada setiap 1000 orang hanya ada satu orang yang mempunyai minat baca. Masyarakat Indonesia rata –rata  membaca buku baru 0-1 buku setiap tahun.

Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam proses kegiatan tersebut menciptakan karya.

Untuk melahirkan learning society peran ibu sangat besar. Karena budaya membaca tidak dapat dibangun secara cepat bagaikan membalikkan telapak tangan. Budaya membaca  yang paling efektif harus dimulai sejak anak berusia dini.

Gerakan literasi sekolah yang dicanangkan Kemendikbud, gerakan 15 menit  membaca   sebelum KBM,  harus mendapat apresiasi dan dukungan dari kita semua. Dan program ini akan bertambah efektif bila diteruskan dan dikembangkan masing-masing keluarga di rumah.

Dalam konteks ini, ibu menjadi kunci penggerak. Sejumlah hal bisa dilakukan ibu dalam membangun budaya literasi di rumah. Ibu dapat mendongeng dan membacakan buku kurang lebih 15 menit, menjelang tidur bagi anak-anak usia dini yang belum bisa membaca.

Selain itu, menyediakan buku-buku yang digunakan sebagai sarana membangun budaya literasi. Sediakan pojok buku di rumah kita agar anak-anak gampang meraihnya. Perpustakaan keluarga menjadi penting, alokasikan secara rutin anggaran untuk membeli buku.

Diskusikan pula buku-buku yang sudah dibaca anak-anak kita. Ibu akan tahu sejauhmana pemahaman dan aksi nyata anak dari buku yang dibacanya. Hal yang penting dalam membangun budaya literasi adalah bahagiakan anak dengan buku.

Ajaklah anak berlibur ke perpustakaan, rumah baca, toko buku, atau bazar buku. Di samping itu, berikan hadiah buku pada momen-momen spesial anak. Katakan bahwa di buku semua ada dan kita akan mengawali kesuksesan melalui buku.

Ibu menjadi contoh nyata. Caranya dengan memaksa diri untuk suka membaca. Dengan demikian, energi positif dan semangat ibu membaca buku akan berpindah kepada anak-anaknya. Ketika anak melihat ibunya gemar membaca dan pembelajar, dengan gampang dia menirunya.

Ibu adalah penggerak proses belajar di keluarga. Budaya literasi dimulai dari budaya membaca kemudian diteruskan dengan budaya menulis. Ketika budaya membaca sudah terbangun dengan baik maka akan menjadi gampang membangun budaya menulis. 

Elly Damaiwati

Pendiri Elmafaza Education Center dan Pendidik di PPMI Assalaam Surakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement