Senin 26 Dec 2016 14:00 WIB

mozaik- Sabun Aleppo Sebuah Tradisi di Ambang Kepunahan

Red:

Dalam peradaban manusia, sabun memiliki sejarah panjang. Salah satu perlengkapan penting untuk membersihkan badan ini diketahui sudah diproduksi dan digunakan pada masa peradaban Babilonia.

Sebuah catatan pada lempengan tanah liat yang ditemukan di Mesopotamia pada 2.800 Sebelum Masehi secara jelas menyebutkan, bahan-bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun. Lempengan tanah liat di Sumeria bertahun 2.200 Sebelum Masehi bahkan mencatat resep pembuatan sabun.

Dalam papirus Ebers juga disebutkan, di era Amenhotep I pada 1.550 Sebelum Masehi sudah ditemukan teknik membuat sabun di Mesir. Sabun tersebut dibuat dari campuran lemak hewan atau minyak tumbuhan dengan garam yang  disebut trona dari lembah Nil. Catatan lain menyebutkan, sabun digunakan dalam proses pembuatan wol.

Sementara di Eropa, bangsa Gaul dan Teuton termasuk yang awal membuat sabun. Wanita-wanita Gaul juga sudah mengetahui sabun dapat membersihkan kotoran pada kain. Orang Roma tidak memproduksi sabun. Mereka menggunakan minyak untuk membersihkan kulit. Meski begitu, orang Roma tahu bangsa Gaul menggunakan sabun. Memasuki era Masehi, seorang tokoh Yunani bernama Galen merekomendasikan penggunaan sabun untuk mencegah penyebaran penyakit dan untuk antiseptik. 

Namun, yang paling berkontribusi pada perkembangan sabun modern adalah bangsa Arab. Bangsa Arab secara reguler memproduksi sabun dari minyak zaitun, minyak dafnah, atau minyak thyme. Merekalah yang pertama menggunakan soda alkali untuk membuat sabun modern.

Sabun beraroma dan beraneka warna pertama kali diproduksi di Aleppo, Suriah, yang kemudian  menyebar ke seluruh kawasan Arab. Sejak tahun 800 Masehi, seiring ekspansi kerajaan Arab, sabun mulai dikenalkan di Sisilia dan Spanyol yang kemudian menyebar ke Eropa.

Pabrik sabun pertama di Eropa beroperasi pada abad ke-12 di Castile, Spanyol, dan di Savona, Italia. Setelah itu, sabun Marseille, Prancis, lahir yang tekniknya diimpor langsung dari Aleppo. Namun, produk sabun di Prancis lebih merupakan produk seni.

Produksi sabun modern ini kemudian berkembang di beberapa wilayah seperti Tripoli. Bila produk sabun tradisional di Aleppo relatif monokrom, sabun di Tripoli lebih berwarna-warni. Bursa sabun utama abad ke-16 di Tripoli, Khan al-Sabun, merupakan pasar yang wajib menjadi pemberhentian pertama produk sabun dari Aleppo. Industri sabun di Tripoli sendiri baru maju pada abad ke-17 dan ke-18.

Saat itu, Kesultanan Turki Utsmani membuat regulasi fiskal yang memungkinkan pembiayaan distribusi soda alkali yang menjadi bahan baku sabun dari Homs dan Hama di Suriah ke Tripoli. Dua per tiga dari soda alkali dari Suriah dipasok ke empat pabrik sabun milik Kesultanan Turki Utsmani di Tripoli. Selama masa keemasan itu, Khan al-Sabun menjadi jantung industri sabun.

Menopang ekonomi rakyat

Sabun dafnah dipercaya telah berkembang di Suriah sekitar 2.000 tahun silam. Ada puluhan produsen yang mempertahankan cara tradisional pembuatan sabun ini. Kebanyakan dari mereka berada di Aleppo. Di kota ini, produksi sabun berlangsung pada November hingga April. Sementara, proses pemasaran berlangsung pada Mei hingga November.

Sabun tradisional ini mengandalkan sumber daya lokal, terutama minyak zaitun yang merupakan sebagian kecil dari bahan pembuat sabun. Sayangnya, pengelolaan minyak dafnah masih kurang baik sehingga minyak dafnah harus diimpor dari Turki.

Sabun Aleppo adalah produk yang unik karena dibuat dengan teknik tradisional turun-temurun yang lestari selama ribuan tahun. Formula dan produksinya membuat sabun ini tak berubah dan tetap berharga tinggi.

Sabun ini terbuat dari minyak zaitun alami, minyak dafnah, dan air yang dicampur natrium hidroksida. Semua bahan itu dipanaskan dan dibiarkan dingin secara alami. Setelah adonan sabun dingin dan mengeras, bongkahan besar sabun dipotong-potong. Sabun ini tahan setidaknya hingga tiga bulan. Selama itu, warna sabun akan berubah dari hijau menjadi cokelat.

Mereka yang pernah berkunjung ke Aleppo dengan mudah membuktikan kualitas sabun alami ini. Sabun Aleppo yang alami dan mudah diurai lingkungan ini merupakan produk perawatan tubuh yang kondang sebagai pelembap kulit. Karena itu, produk ini sering digunakan untuk memandikan  bayi.

Di lapak-lapak Suq al-'Attarin (pasar minyak wangi) di Aleppo, dipenuhi tumpukan balok-balok kecil sabun berwarna hijau dan kuning. Pabrik-pabrik sabun tradisional di Aleppo bisa saja tersembunyi, tetapi tak sulit menyusuri jejak wangi minyak dafnah yang memenuhi udara.

Menggunakan bahan dasar alami dan organik, sabun Aleppo mudah diterima di pasar internasional seperti Eropa dan AS. Minyak dafnah tersohor sebagai bahan yang mampu membantu menjaga kelembapan kulit dengan kandungan vitamin E-nya yang tinggi. Maka tak mengherankan jika sebatang sabun Aleppo bisa dibanderol 7-11 dolar di AS atau 6-10 dolar AS di Inggris.

Sabun Aleppo biasanya dijual kepada konsumen lokal atau toko-toko herbal, hanya sebagian kecil yang dijual kepada wisatawan asing. Produsen sabun Aleppo juga memodifikasi produk untuk merambah pasar baru ke hotel-hotel, wisatawan, dan para saudagar asing.

Namun, cerita indah itu kini luruh seiring koyaknya Aleppo akibat peperangan yang mencabik-cabik Suriah dalam lima tahun terakhir. Andaikan saja tak ada peperangan, niscaya perputaran uang dari bisnis sabun Aleppo masih menggelinding. Para produsen sabun tradisional itu pun masih menikmati wanginya bisnis ini.

Semoga saja perang yang kejam ini segera berakhir, sehingga ada peluang sabun bersejarah ini kembali menebarkan aromanya nan wangi.    Oleh Fuji Pratiwi, ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement