Rabu 30 Nov 2016 11:00 WIB

Media Sosial, Provokasi, dan Literasi Masyarakat

Red:

Di era masyarakat postmodern, kehadiran teknologi informasi dan media sosial adalah wadah baru yang memungkinkan siapa pun dapat menjadi pewarta berita meskipun tanpa lisensi sebagai wartawan. Setiap orang, dengan dukungan gawai (gadget) dan internet dapat mengekpos setiap informasi apa pun tanpa terkecuali. Melalui Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, dan lain sebagainya, semua orang dengan mudah memperoleh dan membagi kembali informasi tanpa harus melalui pintu sensor yang bisa menghambatnya.

Media sosial, meminjam istilah Jurgen Habermas (1991) adalah sebuah ruang publik (public sphere) yang terbuka bagi semua orang untuk mengemukakan opini, mengunggah informasi sesuai keinginan dan kebutuhan. Dengan segala kelebihannya, media sosial menjadi media yang paling cepat, mudah, dan murah untuk menyampaikan pendapat dan gagasan. Tetapi, ketika di media sosial isinya sering kali adalah berita hoax, informasi negatif, penuh dengan caci-maki dan kebencian, pada titik inilah banyak pihak mulai risau dengan kehadiran dan peran media sosial.

Seperti diungkap dalam Tajuk Republika 26 November 2016, yang intinya menyayangkan efek samping yang timbul di balik merebaknya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat. Media sosial saat ini tidak saja dinilai sering digunakan untuk menyebarkan berita bohong dan provokasi, tetapi yang mencemaskan adalah ketika informasi yang disirkulasi dan diresirkulasi di media sosial tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sebuah realitas yang tidak memiliki rujukan dalam dunia nyata, tetapi ketika realitas tersebut diunggah berulang-ulang dan diresirkulasikan melalui media sosial, bisa saja realitas bentukan itu kemudian dianggap sebagai kebenaran itu sendiri.

 

Dampak media sosial

Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bulan Oktober 2016 dilaporkan bahwa di Indonesia para pengguna ponsel pintar, yang memanfaatkan gawainya untuk browsing melalui internet dilaporkan mencapai 89,9 juta orang. Sementara itu, konten komersial yang sering dikunjungi publik adalah 82,2 juta onlineshop, sedangkan untuk konten media sosial, Facebook sebanyak 71,6 juta (54 persen), Instagram 19,9 juta (15 persen), dan YouTube 14,5 juta (11 persen).

Dengan melihat bahwa ada puluhan juta masyarakat Indonesia yang mempergunakan internet dan media sosial untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, setiap informasi yang disirkulasi kemudian diresirkulasikan melalui media sosial, dengan cepat akan menyebar menjadi viral dan menjadi perbincangan masyarakat.

Sepanjang informasi yang disebarluaskan memang benar dan bermanfaat untuk kepentingan publik, seberapa pun banyak informasi yang dibagi dan disebarluaskan melalui media sosial tidaklah menjadi masalah. Namun, lain soal ketika informasi yang dibagikan melalui media sosial ternyata memiliki muatan hasutan, ujaran kebencian, dan lain sebagainya yang berpotensi memicu timbulnya keresahan masyarakat.

Dalam setahun terakhir, kita bisa melihat bahwa di media sosial, mulai dari artis, para politikus, pejabat negara, Presiden, TNI, Polri, bahkan para ulama sekali pun tidak sekali-dua kali dijadikan bulan-bulanan dan caci-maki para haters di media sosial. Tidak jarang pula, di media sosial berbagai bentuk hasutan dan provokasi diekspos secara intens untuk mengajak publik melakukan berbagai hal, sesuai kepentingan dan ideologi kelompok tertentu.

Di kalangan masyarakat yang belum memiliki tingkat literasi informasi yang memadai, paling-tidak ada dua kemungkinan yang bisa terjadi sehubungan dengan kemudahan mereka memanfaatkan dan mengakses media sosial. Pertama, masyarakat tak jarang terlena dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan media sosial, sehingga tanpa kendali mengunggah begitu saja apa yang dinilai perlu diunggah--tanpa memikirkan bagaimana dampaknya terhadap publik dan dirinya sendiri. Kasus seseorang yang menghina ulama kharismatik Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui media sosial seperti terjadi belum lama ini adalah salah satu contoh yang bisa disebut.

Kedua, yang tak kalah mencemaskan, akibat kemudahan masyarakat mengakses media sosial, bukan tidak mungkin mereka menjadi lebih mudah terpapar dan terprovokasi. Tanpa melakukan check dan recheck, mereka bisa saja menelan mentah-mentah informasi hoax dan ujaran-ujaran kebencian yang disirkulasikan di media sosial, serta meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Untuk kepentingan politik, di media sosial kita bisa melihat bagaimana kampanye hitam yang menjelek-jelekkan calon lain acapkali dilakukan tanpa menimbang hal itu melanggar etika dan hukum atau tidak.

 

Di luar pendekatan hukum

Untuk mencegah agar media sosial tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang kontra-produktif, saat ini Tim Kejahatan Siber Polri dilaporkan telah mengambil langkah untuk memantau dinamika media sosial. Jajaran kepolisian dilaporkan juga telah melakukan berbagai langkah penangkapan terhadap sejumlah orang, yang ditengarai merupakan haters dan menjadi provokator di media sosial.

Kehadiran dan kemudahan yang ditawarkan media sosial, yang tidak diimbangi dengan kesadaran dan literasi informasi yang kritis serta pengetahuan hukum yang memadai, harus diakui sering menyebabkan masyarakat tanpa mereka sadari menjadi rawan terkontaminasi efek negatif media sosial.

Di Indonesia, hukum yang berlaku sebetulnya sudah mengatur bagaimana masyarakat mempergunakan media sosial sesuai koridor yang berlaku. Artinya, media sosial bukanlah ranah yang bebas, sebebas-bebasnya. Sudah ada aturan hukum yang membatasi seseorang dalam menggunakan media sosial. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.

Di luar langkah-langkah normatif dan implementasi ketentuan hukum yang berlaku, langkah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah terus mendorong peningkatan literasi informasi masyarakat, sebab di sanalah sebenarnya kunci untuk menepis berbagai kemungkinan efek negatif media sosial.

Graeme Burton dalam bukunya, Media and Society (2005) menyatakan bahwa dengan didukung literasi informasi yang kritis, masyarakat akan mampu membuat pilihan media yang mereka gunakan dan cenderung akan bersikap lebih kritis dalam memproses informasi yang mereka terima.

Di era konvergensi media, dan didukung literasi informasi yang kritis, audiens akan dapat bersikap lebih aktif untuk memproses atau mencari kebenaran dari informasi yang ia peroleh melalui beberapa media sekaligus, membanding-bandingkan, kemudian menilai mana sebetulnya informasi yang benar.

Rahma Sugihartati

Dosen dan Ketua Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan

FISIP Universitas Airlangga

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement