Ahad 04 Dec 2016 07:00 WIB

Kebencian kepada Ulama Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

Buya Hamka saat masih muda.
Foto: Blogspot.com
Buya Hamka saat masih muda.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Keberadaan masjid tua di Jakarta tentu saja tidak dapat dipisahkan dari peran para ulama dan pastinya dukungan umat Islam. Sekitar 200 tahun lalu, tepatnya pada masa pemerintahan Inggris (1808-1816), Sir Thomas Stanford Raffles memuji kegigihan dakwah ulama Betawi.

Pujian ini ia sampaikan dalam peringat an ulang tahun Bataviasch Genoot schap, lembaga kesenian beranggotakan warga Kristen. Prihatin terhadap keberhasilan dakwah ulama Betawi -yang kala itu masih tradisional- dia meminta lembaga itu belajar dari mereka.

Masih menurut pendiri Singapura, pada awal abad ke-19 Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung. Jika kala itu dikatakan sebagian besar bangsa Indonesia buta huruf Latin, tidak demikian dengan huruf Arab Jawi yang merupakan bacaan dalam bahasa Malayu.

"Jika sukses para mubaligh ini dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan," kata Raffles.

Seperti layaknya meneruskan Perang Salib, sekalipun Belanda tidak sekeras Spanyol, tapi tetap menunjukkan kebencian terhadap kiai dan mubaligh.

Menurut risalah dari Rabithah Alwaiyah pada 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap pendi dikan, termasuk tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini dikeluarkan lantaran sejak kelahiran Jamiatul Khair (1905) bermunculan pendidikan Islam.

Namun, upaya pemerintah kolonial ini tidak berhasil. Buya Hamka mengibaratkan penjajah dan anak negeri sebagai minyak dan air. Meski dimasukkan dalam botol, tidak bisa bercampur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement