Kamis 24 Nov 2016 16:10 WIB

DI/TII, Pembebasan Irian Barat, dan Gejolak Politik 1960-an

Sukarno
Foto: dok. Istimewa
Sukarno

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Jakarta pada 1960-an atau sekitar setengah abad lalu penuh dengan pergolakan politik dan militer. Di Jawa Barat pada 1950-an, terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan SM Kartosuwirjo, kawan seperjuangan Bung Karno ketika berguru pada HOS Tjokroaminoto.

Pemberontakan ini baru reda ketika Kartosuwirjo ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Sebelum dieksekusi pada September 1962, dia minta grasi, tapi ditolak Presiden Sukarno. Eksekusi dilakukan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Tapi, di Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, ada sebuah makam yang diyakini dan menurut nisannya merupakan makam tokoh DI/TII, tanpa menyebut Kartosuwirjo.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, memasuki 1960-an, kehidupan politik sangat menonjol. Bung Karno yang tidak sabar perundingan dengan Belanda soal Irian Barat (kini Papua) mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 dalam suatu rapat raksasa di Yogyakarta. Rakyat di seluruh Indonesia diminta untuk mendengarkan pidato Presiden. Lalu, dibentuklah Operasi Mandala di bawah pimpinan Pak Harto dan bermarkas di Makassar.

Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, gugur Laksamana Jos Sudarso di Laut Arafuru. Pembebasan Irian Barat melibatkan PBB dan dunia internasional, termasuk JF Kennedy, Presiden AS yang jadi kawan Bung Karno. Dia mengutus adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy, menemui Bung Karno. Bergabungnya Papua ke Indonesia melalui perjuangan yang hebat melibatkan rakyat Indonesia yang tergabung dalam sukarelawan dan sukarelawati.

Baru saja selesai soal Irian Barat, pada 1963 terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia tidak mau mengakui Malaya menjadi Malaysia yang dikatakan sebagai proyek neokolonialisme dan imperialisme (nekolim). Maka, Bung Karno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).

Hubungan diplomatik kedua negara putus dan terjadi beberapa kali demo besar-besaran, baik di Malaysia maupun di Jakarta. Karena Inggris berpihak dan pencetus terbentuknya Malaysia, pada 18 September 1963, terjadi demo besar-besaran di Kedubes Inggris di Jakarta.

Kedubes yang terletak di pojok kanan Bundaran HI dibakar massa rakyat. Bendera dan lambang Inggris diturunkan massa yang marah. Akibat konfrontasi yang makin memanas, Amerika Serikat siap mengirimkan armada ketujuhnya.

Menteri/KSAD Letnan Jenderal Ahmad Yani memberikan reaksi keras atas ancaman AS tersebut. Dia menyatakan, Indonesia siap untuk mengadang armada ketujuh AS itu bila memasuki perairan Indonesia. Konfrontasi baru berakhir setelah G-30-S. Dan, kekuasaan beralih ke Pak Harto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement