Senin 10 Oct 2016 16:46 WIB

mozaik- Pesona Madinah Al-Zahra

Red:

Dalam satu bagian sejarahnya, Islam pernah memiliki kota dengan sistem tata kota yang baik dan indah, termasuk di Kota Cordoba, Andalusia, yang kini kita kenal dengan Spanyol. Sebuah kota bernama Madinah al-Zahra pernah demikian cemerlang karena menampilkan hal berbeda pada zamannya.

Dalam dokumen the World Heritage Centre, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) disebutkan, Madinah al-Zahra didirikan pada 940 atau 941 M oleh Khalifah Cordoba, Abdul Rahman III. Kota ini berumur pendek karena pascaserangan terhadap penguasa saat itu, kota ini dihancurkan pada 1010 yang sekaligus mengakhiri Kekhalifahan Cordoba. Selama okupasi Kristen, kota ini diabaikan sehingga masa keemasan Islam di Barat pun terlupakan.

Poin utama dari situs Madinah al-Zahra adalah sejarah kota yang memiliki tata kota Islami. Di area penggalian di mana bangunan yang tersisa masih ada, sejumlah dekorasi bisa ditemukan di banyak titik, seperti batu gamping dengan ukiran motif tumbuhan. Hasil cetakan ukiran ini yang kemudian dianalisis dan diklasifikasi. Hasilnya, Madinah al-Zahra merupakan salah satu contoh penting dekorasi parietal yang menjadi kunci perkembangan arsitektur era itu.

Madinah al-Zahra dikelilingi tembok dengan area penyangga yang membentang 11 kilometer  dari timur ke barat dan enam kilometer dari selatan ke utara. Ada situs penting di barat dan timur Madinah al-Zahra, yakni perkebunan dan peternakan al-Rummaniyya yang sebagiannya sudah digali dan kompleks perkantoran Turruñuelos yang belum digali.

Direktur Archaeological Ensemble of Madinat al-Zahra periode 1985-2013 yang juga Anggota Kehormatan German Archaeological Institute, Antonio Vallejo Triano, dalam tulisannya Madinat al-Zahra: Historycal Reality and Present-Day Heritage, tak meragukan Madinah al-Zahra adalah kota penuh kisah yang penting bagi sejarah Islam, terutama yang terkait Kekhalifahan Cordoba.

Pembangunan Madinah al-Zahra berlangsung setelah Abdul Rahman al-Nasir atau Abdul Rahman III mendeklarasikan diri sebagai khalifah dan berhasil membawa Andalusia ke masa kejayaan. Konsep Madinah al-Zahra terlihat berbeda dengan kota-kota Islam dalam periode yang sama dan mewakili ekspresi urban yang tinggi pada masa Kekhalifahan Umayyah.

Nama Madinah al-Zahra yang berarti Kota Bercahaya diinterpretasikan memiliki kaitan dengan rivalitas politik religi antara Kekhalifahan Umayyah dan Kekhalifahan Fatimiyyah. Zuhara (Venus) dianggap menjadi tandingan al-Qahir (Mars) yang digunakan Kekhalifahan Fatimiyyah untuk ibu kota mereka, Mesir. Namun, ada dugaan lain bahwa Madinah al-Zahra dianggap sebagai kehadiran simbolis surga di dunia. Sebab, beberapa bangunan merefleksikan tafsiran surga yang Alquran sebutkan seperti taman-taman dan istana.

Pembangunan kota ini memakan sumber daya yang luar biasa, dari material hingga tenaga kerja, dari detail potogan struktur dan elemen hingga dana. Dalam 40 tahun masa pembangunan Madinah al-Zahra bahkan harus melalui dua kepemimpinan, 25 tahun pada masa Khalifah Abdul Rahman III dan 15 tahun pada masa Khalifah al-Hakam, putra Khalifah Abdul Rahman III. Rentang waktu ini terbilang cepat karena sistem pengairan peninggalan era Romawi membuat pasokan air terjaga. Bebatuan dan material pendukung dipasok dari daerah sekitar dengan radius 50 kilometer.

Kecepatan pembangunan kota tak lepas dari pasokan material dan banyaknya tenaga yang dikerahkan, dari buruh bangunan hingga para seniman. Bahan baku utama bangunan-bangunan di Madinah al-Zahra adalah batu-batu alam. Selain marmer dan batu gamping, digunakan pula shaft hitam dan kemerahan serta batu gamping putih untuk membuat ukiran tumbuhan.

Kota ini didirikan di atas tanah berbentuk persegi dengan luas 112 hektare, lebih luas dari Alcazar yang luasnya hanya 19 hektare. Kota ini dibangun di lokasi strategis di titik tertinggi pusat urban. Madina al-Zahra dibuat berjenjang di mana istana khalifah berada di titik tertinggi, di bagian tengah adalah kediaman putra mahkota dan kantor administrasi, dan bagian bawah diperuntukkan sebagai permukiman warga.

Tata kota

Madinah al-Zahra bisa dikatakan bercita rasa lokal dan tak memiliki kesamaan prinsip arsitektur dengan kepempimpinan Islam saat itu. Kota ini tak memiliki sumbu sentral dan tidak banyak ditemukan bagian-bagian simetris, seperti yang banyak dijumpai pada struktur bangunan era Abbasiyah. Namun, model arsitektur Madinah al-Zahra yang kemudian dikenal luas ikut membawa pengaruh setelah masa-masa reformasi perkotaan pada pertengahan abad ke-10 atau 15 tahun setelah kota ini berdiri.

Kontras pula dengan Alcazar yang sengaja dibuat memiliki dinding sebagai benteng sejak awal, Madina al-Zahra sengaja dibuat terbuka setidaknya hingga akhir masa Kekhalifahan Abdul Rahman III.

Kota ini tumbuh dan berkembang pada laju yang sama dengan evolusi institusi khalifah dan negara. Inilah yang menjelaskan mengapa pusat administrasi dan balai pertemuan politik khalifah menjadi penting. Konstruksi semacam ini yang kemudian mengubah perencanaan area urban dan arsitektur Alcazar dengan dua tujuan utama, yaitu sentralisasi institusi administratif dan adaptasi istana untuk bentuk baru kekhalifahan.

Di luar itu, ada bangunan baru yang tak biasa di Alcazar dan tidak pernah ditemui pada zaman Madinah al-Zahra, seperti ruang Basilica yang diduga merujuk pada Dar al-Yund (rumah militer) yang merupakan sebuah bangunan besar dengan lantai persegi dengan pilar-pilar. Bangunan ini terletak di area atas dalam jenjang area Madinah al-Zahra.

Selain itu, ada pula sebuah bangunan lain yang diidentifikasi sebagai Dal al-Wusara yang diperuntukkan bagi para pejabat penting negara. Bangunan ini terletak di lahan luas yang bisa diakses pasukan kavaleri dan diperuntukan menjadi aneka prosesi keistanaan. Bangunan ini berperan penting dalam perkembangan seremonial kekhalifahan dan sekaligus menjadi ruang tunggu bagi para duta besar atau pejabat lain dalam jamuan politik khalifah.

Tak jauh dari itu, terletak Dar al-Wusara di mana para pejabat negara ditatar. Di sini juga terdapat aktivitas pengarsipan dokumen politik.

Pengelompokan bangunan ini menunjukkan sentralisasi administrasi yang harus terhubung dengan pusat layanan negara yang dibentuk Khalifah Abdul Rahman III pada 955.

Kompleks ini juga memiliki ruang gambar yang sayangnya hancur. Ruang ini dikelilingi empat kolam dan sebuah paviliun utama serta sebuah ruang samping yang dikelilingi taman.

Area kunci lain di Madinah al-Zahra adalah balai pertemuan yang dibangun Khalifah Abdul Rahman pada 953-957. Ruangan ini diidentifikasi sebagai maylis al-sarqi (ruang timur) di mana biasanya dengar pendapat dengan para duta besar digelar, juga menjadi tempat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Di tempat ini pula, para tamu penting dari Mediterania, Kerajaan Jerman, hingga Kerajaan Kristen pernah diterima.

Bagian paling unik dari bangunan-bangunan di sana adalah dekorasi dan ornamen unik di muka bangunan. Hal paling inovatif saat itu adalah ruangan bawah yang ditopang tiang-tiang dan sejumlah ornamen dekoratif yang sekilas tampak seperti batang-batang pohon dengan daun tersusun. Bangunan ini memang banyak dihiasi karya seni bertema tumbuhan, yang menunjukkan kentalnya pengaruh era Abbasiyah. Ornamen lain yang terlihat adalah motif bintang-bintang yang menyimbolkan alam semesta dan interpretasi kode astronomi.    Oleh Fuji Pratiwi, ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement