Senin 10 Oct 2016 06:00 WIB

Jejak Sukarno di Balik Hilangnya Tujuh Kata Piagam Jakarta

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.

Oleh M Akbar Wijaya/ wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sukarno kerap  dituding sebagai salah satu tokoh sentral di balik hilangnya tujuh kata Piagam Jakarta. Bagaimana sesungguhnya peran Sukarno dalam sejarah yang dianggap menjadi pengalaman traumatis umat Islam itu?

22 Juni 1945 menjadi hari penting dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Itu hari, sembilan orang founding fathers yang tergabung dalam Panitia Sembilan bersepakat menandatangani (gentle agreement) rumusan dasar negara Indonesia yang akan merdeka. Rumusan yang kemudian menjadi preambule (pembukaan) UUD 1945 itu dikenal dengan istilah Piagam Jakarta.

Istilah Piagam Jakarta diberikan oleh salah satu anggota Panitia Sembilan yakni Muhammad Yamin. Salah satu makna penting piagam ini adalah terbangunnya kompromi tentang dasar negara antara kelompok nasionalis Islam dengan kelompok nasionalis sekuler. Kedua pihak sepakat Islam tidak menjadi dasar negara, namun umat Islam wajib menjalankan syariat Islam sebagaimana akan diatur dalam konstitusi. Poin itu tertuang dalam tujuh kata yang berbunyi: “ [Ketuhanan] dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Perdebatan tentang apakah Indonesia akan menjadi negara Islam atau negara sekuler sudah meruap sejak sidang Badan Persiapan Penyilidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) I berlangsung antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Kala itu, kubu nasionalis Islam bersikukuh ingin menjadikan Islam sebagai ideologi dasar negara. Sedangkan kubu nasionalis sekuler bersikeras ingin memisahkan antara urusan beragama dengan urusan bernegara. Kedua pihak tak mudah mengalah.

Ketua Sidang BPUPKI Radjiman Wediodiningrat akhirnya membentuk panitia kecil (bunkakai) yang terdiri dari sembilan orang. Mereka ialah Sukarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.

Tugas pokok mereka adalah merumuskan dasar negara berdasarkan pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 di muka sidang BPUPKI. Pidato itu, kata Hatta, dinilai paling pas dan jelas dalam menjawab pertanyaan apa dasar negara Indonesia? “Pidato itu disambut hampir semua anggota dengan tepuk tangan yang riuh. Tepuk tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan,” kenang Bung Hatta dalam Menuju Gerbang Kemerdekaan.

Dalam pidato yang dikenang sebagai hari lahir Pancasila tersebut, Sukarno memang tampak berusaha keras menyatukan beragam pandangan yang muncul dalam sidang BPUPKI I. Usaha itu pula lah yang kembali ia lakukan saat membacakan keputusan Panitia Sembilan mengenai Piagam Jakarta pada 10 Maret 1945. “Panitia kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai,” kata Sukarno seperti dilansir dari buku Risalah BPUPKI dan PPKI karya M Yamin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement