Senin 26 Sep 2016 17:00 WIB

mozaik- Nana Asma'u, Pendidik Kaum Perempuan Nigeria

Red:

Sadar perempuan adalah pendidik bagi anak-anaknya, Kartini berjuang agar banyak perempuan bisa mendapatkan pendidikan, hal yang tidak lazim pada zaman itu. Kelak, surat-surat yang Kartini kirimkan kepada teman-temannya di seberang samudra dibukukan dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Mengajar dan menulis, itu pula kiranya aktivitas utama tokoh perempuan asal Nigeria, Nana Asma'u. Namun, dengan kapasitas ilmu luar biasa, Nana Asma'u tak cuma seorang guru dan penulis, tapi juga politikus, tokoh masyarakat, dan penasihat pemerintahan selain tugas domestik sebagai seorang ibu dan istri.

Akademisi Department of Mass Communications Bayero University, Kano, Nigeria, Muhammad Jameel Yusha'u dalam tulisannya Nana Asma'u Tradition: An Intellectual Movement and a Symbol of Women Rights in Islam During the 19th Century Danfodio's Islamic Reform menuturkan, Nana Asma'u adalah ''produk'' hasil bentukan gerakan perlawanan di Nigeria, yakni Sokoto Jihad, pada abad ke-19. Dengan segala kapasitas yang dimiliki, Nana Asma'u merupakan figur yang amat dihormati.

Nana Asma'u terlahir kembar bersama seorang saudara laki-lakinya, Hassan, pada 1793 di Degel, sebuah tempat di barat laut Sokoto, Nigeria. Dibandingkan memilih nama Hussaina untuk saudara kembar Hassan, orang tua mereka memilih Asma'u untuk nama anak perempuan mereka itu. Nama itu diambil dari nama Asma binti Abu Bakar, putri khalifah pertama sekaligus  sahabat Rasulullah SAW. Asma binti Abu Bakar sendiri dikenal sebagai perempuan yang berani karena ia membantu Rasulullah dan ayahnya di persembunyian ketika dikejar kafir Quraisy.

Aisha dan Hauwa, dua istri lain Shehu Usman dan Fodio, merawat Nana Asma'u setelah ibu kandungnya wafat pada 1795. Edukasi Islam klasik mengenalkan Nana Asma'u melihat dunia.  Hal yang diajarkan padanya tak hanya menghafal ayat Tuhan, tapi juga menggali makna di baliknya yang diajari langsung oleh ayah dan anggota keluarganya.

Pada 1807, Nana Asma'u menikah dengan Usman Gidado, lalu pindah ke Sokoto dan melahirkan anak pertama mereka, Abdulqadir, pada 1810. Pada 1811, ia mulai menerjemahkan puisi karya Shehu yang berisi panduan hak dan kewajiban dalam syariat Islam.

Sembilan tahun kemudian, pada 1820, Nana Asma'u melahirkan putra keduanya dan menulis buku Jalan Keimanan, buku tentang moralitas dan pengabdian. Antara 1824 hingga 1829, Nana Asma'u menghasilkan dua karya, Beri Kami Kemenangan dan Elegi Abdullah. Para rentang waktu itu pula, Nana Asma'u melahirkan putra ketiga dan mendapatkan cucu dari putra pertamanya.

Tiga tahun berselang, Nana Asma'u melahirkan putra keempatnya, Abdullahi Bayero. Setelah melahirkan putra kelima, Muhammad Laima, Nana Asma'u makin produktif berkarya antara 1840-1854. Setelah menulis Alasan Mencari Tuhan, Elegi untuk Fadima, dan Dan Yalli/, Nana Asma'u tutup usia pada 1863.

Dalam tulisannya, Ode to Nana Asma'u: Voice and Spirit dalam laman Muslim Heritage, Natty Mark Samuels menuturkan, Nana Asma'u duduk di lingkaran para guru di Afrika. Dari para  ahli ilmu di keluarganya, mulai dari Aisha, ayahnya Shehu Usman dan Fodio (Syekh Usman bin Fodio), pamannya Abdullahi dan Fodio, dan kakaknya Muhammed Bello, Nana Asma'u belajar Alquran serta empat bahasa lain: Arab, Fulfude, Hausa, dan Tamachek.

Tahun pertama Nana Asma'u dihabiskan di kelompok religi Degel di utara Nigeria. Dari kelompok yang dibentuk ayahnya  itu, Nana Asma'u mendapat pendidikan keimanan dan  pendidikan masa kanak-kanak paling mumpuni. Dari komunitas itu pula, Nana Asma'u menyelami permasalahan pendidikan perempuan.

Kebanyakan perempuan di utara Nigeria menikah di usia muda, pada 11 hingga 14 tahun. Karena para suami, ayah, dan saudara lelaki di sana kurang menunjukkan dukungan mereka pada pendidikan kaum perempuan, banyak perempuan putus dalam pendidikannya.

Mengirim guru melalui Yan Taru

Sebelum melihat apa yang Nana Asma'u lakukan bagi perempuan di Sokoto, Yusha'u menjabarkan prinsip kesetaraan hak perempuan dalam Islam.

Berdasarkan pandangan Syekh al-Qardhawi, HAM bukanlah anak kehidupan modern ataupun inovasi dari Barat. Islam menghadirkan apa yang disebut HAM lengkap dengan perlindungan dan konsepsinya atas individu, masyarakat, dan negara serta bagaimana Islam menjadikan HAM bagian tugas seorang Muslim. Karena kewajiban, mereka yang menjalankan tugas akan mendapat ganjaran, sementara yang lalai akan mendapat hukuman.

Islam telah menyediakan legislasi HAM sejak 14 abad lalu dan memastikan perlindungan HAM di semua aspek kehidupan. Rasulullah SAW bahkan membuat deklarasi HAM usai haji wada'. ''Wahai manusia, kita diciptakan oleh Tuhan Yang Esa melalui orang tua yang sama, Adam. Adam diciptakan dari tanah dan kita akan kembali ke tanah. Arab dan non-Arab, tidak lebih  satu dengan yang lain di hadapan Allah SWT. Arab tidak lebih baik dari non-Arab dan sebaliknya, kecuali karena keimanannya.''

Deklarasi HAM ini disampaikan Rasulullah jauh sebelum Amerika dan Prancis membuat konsep HAM sendiri. Di sini, Islam telah menghapus semua bentuk dan alat pemecah belah serta diskriminasi.

Memahami apa yang dilakukan Nana Asma'u untuk membangun penguatan pendidikan kaum perempuan, perlu dipahami pula bagaimana Islam menempatkan hak-hak wanita. Dalam peradaban kuno, perempuan adalah objek tanpa hak. Pada masa jahiliyah, anak-anak perempuan boleh dikubur hidup-hidup. Dalam Islam, perempuan dan laki-laki beriman punya kedudukan yang sama.

''Bagi laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga  kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah SWT, Allah SWT menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar,'' (al-Ahzab: 35).

Langkah Nana Asma'u untuk mendidik kaum perempuan, lanjut Yusha'u dalam tulisannya, merupakan buah pemahaman Nana Asma'u atas hak-hak perempuan dan batasannya dalam Islam.

Nana Asma'u mendidik para guru perempuan (jaji) untuk disebar ke masyarakat. Para guru perempuan ini mengajar dengan berpaku pada rencana pembelajaran buatan Nana Asma'u.  Alat belajar utama komunitas ini adalah bahasa lisan dan menghafal.

Peran para jaji menjadi sangat penting karena mereka kemudian jadi penasihat bagi para murid perempuan di kelompok mereka. Sebagai penanda, Nana Asma'u memberi para jaji sebuah topi malfa yang terbuat dari rumput sutra. Ukuran topi ini agak besar karena harus digunakan di atas turban. Ini kemudian mengalami transformasi dari simbol menjadi nilai yang melekat. Saat berada di tengah kelompok belajar mereka, para jaji akan membawa salinan terbaru karya Nana Asma'u. Hal itu dilakukan karena mereka yang ingin belajar sungguh-sungguh dan harus mengenal saka gurunya.

Yan Taru dinilai sebagai gerakan luar biasa dan kontribusi hebat dari Nana Asma'u karena tulang punggung gerakan ini adalah pendidikan filosofi dan strategi perubahan mental. Prestasi utama Nana Asma'u dan gerakan Sokoto Jihad adalah keilmuan. Kekhalifahan mandiri Sokoto dinilai sebagai gerakan intelektual yang penting bagi sejarah Sokoto.

Berasal dari tradisi di mana anggota keluarga lelaki mendukung apa yang ia lakukan, tulis Samuels, Nana Asma'u juga tahu ia didukung ayahnya saat mendirikan organisasi Yan Taru pada 1830. Yan Taru adalah organisasi berisi para guru perempuan yang nomaden (jaji) yang Nana Asma'u didik sendiri.

Melalui organisasi ini, para guru dikirim ke kota dan desa di mana orang-orang yang kurang mendapat pendidikan tinggal. Yan Taru kemudian menjadi lembaga pendidikan yang tak hanya mengajar perempuan, tapi juga laki-laki tanpa membatasi agama.    Oleh Fuji Pratiwi, ed: Wachidah Handasah

***

Wanita Serbabisa

Selain guru, Nana Asma'u juga merupakan penata arsip-arsip karya ayahnya, penasihat pemerintahan kakaknya, dan mediator aneka komunitas terkemuka. Ia juga penulis beragam topik, dari hukum hingga pendidikan, dari puisi hingga terjemahan. Puisi menjadi alat bantunya mendidik. Kemampuan multibahasa membuatnya memiliki banyak opsi sumber belajar.

Mengasuh lima anak dan mengatur rumah tangga yang besar ditambah mengajar dan menulis, Nana Asma'u terbilang luar biasa. Ia sosok wanita Nigeria Utara abad ke-19 yang monumental:  penuh rasa kemanusiaan, berjiwa bersih, dan dihormati.

Ia bicara pada semua, baik lelaki maupun perempuan, tua dan muda, Hausa maupun Fulani, penganut kepercayaan lokal ataupun pemeluk Islam.

Hal serupa juga dituliskan Yusha'u. Pekerjaan utama Nana Asma'u adalah mendidik para perempuan agar kelak mereka bisa mendidik anak-anaknya dengan ideologi. Namun, di samping itu, Nana Asma'u juga siap sedia memberi jawaban kepada mereka yang berpandangan bahwa perempuan adalah objek eksploitasi, penindasan, dan dikerdilkan hanya untuk mengurus rumah dengan alasan atas nama Islam.

Keilmuan Nana Asma'u kemudian diakui karena secara efektif mendukung nilai-nilai yang diusung Sokoto Jihad untuk mendakwahkan Islam dan mengakhiri penindasan terhadap umat Islam. Selain sebagai guru, ia juga dikenal sebagai seorang egalitarian yang tak segan mengajar para pengungsi non-Muslim di Afrika Barat.

Nana Asma'u juga memberdayakan para perempuan untuk mendapat penghasilan dari memintal benang. Hasil pintalan itu bisa dijual langsung ke konsumen atau dijual ke pengumpul. Nana Asma'u dipercaya masyarakat sehingga ia sering dilibatkan dalam pengambilan sebuah keputusan.

Lepas dari aneka urusan tingkat tinggi di ranah hukum dan politik, Nana Asma'u juga tak lepas dari kehidupan perempuan Sokoto pada umumnya yang hidup dalam rumah tangga poligami. Nana Asma'u sendiri adalah salah satu dari beberapa istri Usman Gigado.

Kecemburuan dan tekanan sering muncul dalam rumah tangga semacam ini di mana tiap istri akan berusaha mendapatkan perhatian suaminya. Bahkan tak jarang, jimat-jimat digunakan untuk memenangkan persaingan. Hal-hal semacam itu yang Nana Asma'u kecam. Ia mengajak murid-murid perempuannya untuk bersabar. Kepada mereka, ia berpesan agar menjauhkan diri dosa berbohong, cemburu buta, dan tamak. Sebaliknya, ia meminta untuk mengandalkan Alquran dalam mengatasi berbagai masalah.    Oleh Fuji Pratiwi, ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement