Sabtu 06 Aug 2016 07:00 WIB

Perjuangan Mencium Hajar Aswad dan Shalat di Raudah

Mencium Hajar Aswad.
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Jamaah Haji Di Mekkah (ilustrasi)

Ibadah haji dan umrah ke tanah suci dengan pesawat terbang dari Indonesia baru dimulai 1973. Sebelumnya melalui kapal laut yang memerlukan waktu berbulan-bulan.

Kala itu, naik haji dengan sistem kuotum dijatah tidak lebih 10 ribu jamaah, sesuai dengan kapasitas kapal Arafah. Dengan sistem ini, mereka yang ingin menunaikan ibadah haji harus menunggu bertahun-tahun. Bahkan sampai yang bersangkutan meninggal dunia, kuota hajinya belum keluar.

PHI (Pejalanan Haji Indonesia) saat itu belum memiliki asrama haji. Baru awal 1960-an ada asrama haji di Kwitang, Jakarta Pusat, yang hanya dapat menampung tidak lebih 20 orang. Apalagi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana para jamaah haji sepulangnya dengan kapal laut dari tanah suci harus dikarantina di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

H Djayus yang waktu itu berusia 70 tahun, jamaah umrah Alisan yang menunaikan ibadah haji pada 1973 saat diberlakukan sistem syekh, menceritakan tempat penampungan di Makkah dan Madinah ketika itu sangat menyedihkan dan terkesan kumuh.

Gedung-gedung bertingkat belum memiliki lift. Air dijatah dan diantre. Untuk shalat hanya tersedia segelas air, dan kadang-kadang harus tayamum karena tidak ada air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement