Rabu 27 Jul 2016 15:00 WIB

Antara Pokemon Go, Mafia Peradilan, dan Sikap Toleran Terhadap Korupsi

Red:

Fenomena gim Pokemon Go menjadi inspirasi para aktivis dari Koalisi Pemantau Peradilan saat aksi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (26/7). Dalam aksinya, mereka membawa boneka Pikachu yang diadaptasi dari gim Pokomen Go beserta dua bola Pokeball. Kedua bola itu kemudian dilempar oleh dua pimpinan KPK, Saut Situmorang dan Alexander Marwata, hingga mengenai Pikachu.

Cara bermain Pokemon Go disimbolkan para aktivis dalam upaya KPK menangkap mafia hukum peradilan. Mereka pun memplesetkan nama gim itu menjadi 'Makomon Go' atau singkatan dari Mafia Hukum Kelas Monster. "Ini penting bagi KPK tidak hanya menangkap aktor-aktor peradilan yang sebetulnya di level operator, bukan tertinggi yang mampu ambil kebijakan di sistem MA atau peradilan," ujar salah satu perwakilan Koalisi Pemantau Peradilan dari YLBHI Julius Ibrani, Selasa (26/7).

Menurut Julius, aksi mereka berkaitan dengan sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang tengah ditangani KPK dan tidak sedikit kasus tersebut berasal dari unsur peradilan. Ia mengatakan, dari kasus yang diungkap KPK, terlihat praktik mafia hukum di lembaga pengadilan terjadi hingga di tingkat Mahkamah Agung (MA).

Mafia hukum tersebut terjadi di berbagai macam modus, bahkan bisa bergerak pada campur tangan atau memengaruhi kebijakan strategis, promosi, dan mutasi hakim maupun pejabat di lingkungan pengadilan dan intervensi hingga pengadilan lebih rendah.

Julius menambahkan, jika selama aktor monster mafia hukum belum ditangkap maka sulit mendorong terwujudnya peradilan yang bersih maupun reformasi peradilan. Ia meyakini, kejadian hakim atau pegawai pengadilan yang terlibat korupsi akan muncul kembali di masa mendatang.  "Aktor utama mafia Hukum sudah pasti berupaya menggagalkan ataupun menghambat upaya reformasi peradilan untuk menjadikan lembaga pengadilan bersih dari korupsi," kata Julius.

Selain itu, ia menuturkan, dorongan ini juga berkaitan dengan dikeluarkannya surat perintah penyelidikan atas nama Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi pada Jumat (22/7) kemarin. Ia berharap, KPK tidak ragu untuk menaikkan status ke tahap penyidikan apabila bukti-bukti yang diperoleh sudah sangat kuat. "Sebenarnya, yang kami tunggu bukan surat itu, tapi bagaimana perkembangan selanjutnya, dari mulai penggeledahan dan penyitaan ini apa," katanya.

Dari pihak KPK yang diwakili Alexander Marwata mengatakan, terlepas dari sejumlah kasus yang ditangani KPK, pihaknya terus mendorong terjadinya reformasi di bidang peradilan. Dorongan itu terutama dalam hal bidang pencegahan. "Tertangkapnya pejabat peradilan memperkuat bahwa memang mafia peradilan itu ada. Kita makanya nggak hanya berhenti, tapi bagaimana kita bisa mendorong reformasi utamanya di MA," ujar Alex.

Toleran korupsi

Bersamaan dengan aksi di depan gedung KPK, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merilis hasil survei bertema "Persepsi dan Pengalaman Masyarakat terhadap Fenomena Korupsi di Indonesia" di Auditorium CSIS, Jalan Tanah Abang, Jakarta. Hasil survei menunjukkan, masih adanya sebagian masyarakat Indonesia bersikap toleran terhadap korupsi.

Survei CSIS tersebut dilakukan terhadap 3.900 responden dengan 2.000 responden terdistribusi secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia. Sementara, 1.900 lainnya dipilih secara khusus di Aceh, Banten, Papua, Riau, Sumatra Utara yang merupakan daerah prioritas pencegahan korupsi oleh KPK. Survei dilakukan dengan melalui wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan margin eror sekitar 1,5 persen.

Disebutkan, ada 30 persen responden masih menganggap wajar pemberian barang, uang, maupun hadiah guna kelancaran mengurus sesuatu hal. Kondisi ini tentu menjadi ironi jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi yang tengah digencarkan di Indonesia. "Saya kira, budaya masyarakat di kita yang suka memberikan sesuatu itu sebagai hal yang wajar menjadi tantangan ke depan dalam upaya pemberantasan korupsi," ujar peneliti CSIS Vidya Andhika Perkasa.

Menurut Vidya, meski jumlahnya lebih kecil dibandingkan masyarakat yang menilai perilaku korupsi adalah tidak wajar, yakni sebesar 70 persen. Akan tetapi, hal ini perlu diantisipasi mengingat pola-pola permisif dari masyarakat tersebut bisa mengganggu upaya pemberantasan korupsi.

Adapun dari hasil survei yang dilakukan pada rentang 17-29 April 2016 tersebut masyarakat yang tinggal di perdesaan cenderung lebih toleran terhadap perilaku korupsi dibandingkan masyarakat perkotaan. "Selain budaya di masyarakat, ini juga karena faktor pendidikan di perdesaan yang cenderung lebih rendah," ujar Vidya.

Vidya mengatakan, faktor pendidikan dianggap berpengaruh terhadap sikap toleransi kepada perilaku korupsi. Sebanyak 38,2 persen responden tidak bersekolah, disusul lulusan SD dan SMP, yakni 37,1 persen dan 32,3 persen. Tapi, ternyata, dari tingkat pendidikan tidak berlaku bagi responden berpendidikan S-3 dengan tingkat kewajaran yang mereka nilai dari perilaku korupsi sebanyak 33,3 persen.

Senada dengan Vidya, peneliti dan pengamat politik dari CSIS Phillips J Vermonte mengakui, budaya masyarakatlah yang membuat konsep wajar terhadap perilaku korupsi. Ia memberi contoh kecil, yakni perilaku pemberian sebagai ucapan tanda terima kasih kepada seseorang. Hal ini yang kemudian menjadi kebiasaan saat masyarakat berhadapan dengan penyelenggara negara. "Budaya juga yang membuat masyarakat toleran, lalu juga tertanam dibenak masyarakat, akan lebih tinggi posisi kalau ngasih sesuatu," ujarnya.    Oleh Fauziah Mursid, ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement