Ketika itu, orang Betawi banyak menjadi pengikut Islam. Para pendeta di Pajajaran menilai Kian Santang melakukan penyimpangan, atau langgara. Karena itu, tempat sembahyang pengikut Islam disebut langgar.
Warga Betawi masih banyak menyebut langgar untuk sebutan mushala. Sedang tempat shalat yang lebih besar mereka sebut masjid atau masigit. Jadi, menjelang abad ke-15 sudah berdiri masjid di Jakarta.
Karena Islam dianggap membahayakan, maka Pajajaran melakukan perjanjian dengan Portugis yang membuat Sultan Trenggano dari Demak menjadi amat gusar. Dia kemudian mengirimkan seorang mubaligh sekaligus panglima, Fatahillah, dengan balatentaranya untuk menyerbu Sunda Kalapa dan mengusir Portugis.
Fatahillah mendirikan kadipaten di sebelah barat muara Ciliwung. Di sebelah timur didirikan aryan perumahan untuk pejabat kadipaten dan keluarganya yang didatangkan dari Banten.