Rabu 22 Jun 2016 06:45 WIB
Kontroversi Perumus Pancasila

Hatta, Opsir Jepang, dan Pencabutan Tujuh Kata di Piagam Jakarta

Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Foto:
Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.

Menurut Lukman, meski rumusan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta oleh para tokoh bangsa telah disepakati secara aklamasi dalam rapat BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu, ternyata diam-diam masih ada pihak yang tetap mempersoalkan tercantumnya tujuh kata itu dalam Mukadimah UUD 1945, yakni Laturharhy dkk.

"Maksudnya saya tidak bermaksud seperti apa yang disebut Mr Mohamad Roem, 'menangisi susu yang sudah tumpah'. Namun, kami pun hanya bertanya, benarkah pada tanggal 17 Agustus 1945 sore Bung Hatta menerima perwira Angkatan Laut Jepang dari Indonesia timur? Inilah pertanyaannya. Sebab, fakta yang muncul kemudian kok tidak bersesuaian,’’ ungkap Lukman.

Lukman kemudian menyebut bahwa pada tahun 1997 Penerbit Universitas Indonesia meluncurkan sebuah buku berjudul Lahirnya Satu Bangsa dan Negara disusun oleh OE Engelen, Aboe Bakar Loebis, F Pattiasina, Abdullah Ciptoprawiro, Soejono Joedodibroto, Oetarjo, dan Idris Siregar.

Buku yang diberi kata sambutan oleh Presiden Soeharto itu merupakan edisi revisi dari buku Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya I yang terbit pada 1984.

"Prapatan 10 adalah lokasi asrama mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) yang dicatat sejarah karena keberaniannya melawan perintah balatentara Jepang untuk menggunduli kepala. Rumah itu adalah tempat berkumpulnya kader mahasiswa sosialis yang dipimpin Syahrir," ujar Lukman.

Dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara halaman 89-90 tersebut diceritakan kedatangan sejumlah anggota PPKI dari luar Jawa, terutama Indonesia bagian timur, antara lain Dr Sam Ratulangi dari Sulawesi, Mr Latuharhary dari Maluku, dan Mr I Ketut Pudja dari Bali, datang ke Asrama Prapatan 10 pada 17 Agustus 1945 siang setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56.

"Jadi ketika para tokoh bangsa yang beragama Islam sesuai pembacaan proklamasi pergi melakukan ke masjid untuk melakukan shalat Jumat, Latuharhary dkk itu ternyata mengadakan pertemuan di Asrama Prapatan 10. Maka di situ muncul keinginan untuk mencabut tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945 yang memakai rumusan Piagam Jakarta," kata Lukman.

Kepada para mahasiswa Ika Daigaku, para anggota PPKI itu menyampaikan keberatan jika dalam preambul Undang-Undang Dasar masih ada kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan mengusulkan perubahan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Usul perubahan itu mendapat perhatian serius dari para mahasiswa.

Maka, lanjut Lukman, para mahasiswa itu pun segera mengontak Bung Hatta melalui telepon. Bung Hatta setuju untuk membicarakan keberatan dan usul perubahan itu pada tanggal 17 Agustus. Mereka sepakat bertemu pada sore hari, yakni sekitar pukul 17.00 WIB di rumah Bung Hatta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement