Selasa 26 Apr 2016 10:27 WIB

Gara-Gara Bambu, Dosen ITS Dapat Penghargaan Internasional

Heri Supomo, dosen ITS.
Foto: ITS
Heri Supomo, dosen ITS.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya kembali meraih penghargaan bergengsi tingkat dunia. Kali ini adalah Heri Supomo, dosen Jurusan Teknik Perkapalan yang berhasil meraih Institution Medal of Distinction dari Royal Institute of Naval Architects (RINA) berkat publikasi penelitiannya di Journal of Small Craft Technology.

Ada 7 penghargaan yang berbeda-beda yang juga hanya diberikan kepada 7 orang dari seluruh dunia dan rencananya diserahkan di London, Inggris pada akhir April ini. Penghargaan bergengsi dunia di bidang perkapalan tersebut berawal dari niat mulia Heri mengembangkan industri galangan kapal rakyat di Indonesia. Ia sempat prihatin terhadap para pelaku usaha galangan kapal yang kesulitan mencari kayu. Terlebih, penebangan pohon untuk kayu mulai dibatasi karena alasan keramahan lingkungan.

“Alhasil, banyak pengusaha yang gulung tikar. Kalau begitu, lalu bagaimana kondisi ekonomi kerakyatan di daerah pesisir?” ujar pendiri Paguyuban Laskara yang menaungi industri galangan kapal di seluruh Jawa Timur tersebut.

Ide cemerlang kemudian muncul kala Heri mengamati pembangunan jembatan desa yang kerap menggunakan bambu dan dapat bertahan dalam waktu lama. Tak hanya itu, Heri juga mengaku terinspirasi oleh program Bambunisasi Nasional yang sempat dicanangkan Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Lingkungan Hidup RI di tahun 1993-1998 silam.

Kala itu, Sarwono berpendapat bahwa selain merupakan komoditi yang bagus, bambu juga sangat berguna untuk lingkungan, khususnya dalam pencegahan bencana longsor, erosi, dan angin. Heri pun berinisiatif menggunakan bambu sebagai bahan baku konstruksi kapal.

“Saya coba hubungkan ide saya dengan gagasan Pak Sarwono karena ini bisa saling menguntungkan,” ujar pria asal Ngawi ini.

Sejak tahun 2011, Heri akhirnya intensif meneliti bambu, mulai dari metode pengukuran umurnya hingga karakteristik berbagai jenis bambu. Hasilnya, bambu ternyata memiliki 150 persen kekuatan lebih besar dari kayu jati. Pengujian di laboratorium juga menunjukkan bahwa bambu memiliki sifat-sifat mekanis dan kimia yang memenuhi kualifikasi layak sebagai bahan konstruksi kapal.

Tak hanya itu, salah satu sifat dasar bambu adalah semakin kuat ketika semakin lama terkena air. Heri bahkan sempat merendam bambu di dalam air laut sejak tahun 2012 dan kondisinya masih bagus hingga sekarang. Hal ini turut menjadi poin utama yang membuatnya yakin dengan penelitian yang ia geluti.

“Berdasarkan karakteristiknya, ternyata hanya ada dua jenis bambu yang dapat digunakan, yakni ori (orisinal, red) dan betung,” ungkap pria yang juga mahasiswa doktoral di Jurusan Teknik Perkapalan ITS tersebut.

Namun, Heri menegaskan bahwa penelitian itu tak akan ada habisnya karena masih banyak yang menurutnya harus dikembangkan. “Tapi setelah penelitian empat tahun terakhir, saya bisa dengan yakin menyimpulkan bahwa bambu pasti dapat digunakan sebagai bahan seluruh konstruksi kapal,” tegas ayah tiga anak ini.

Selain Heri, dosen ITS lainnya juga tercatat menerima penghargaan WHC Nicholas Prize. Dia adalah Vincentius Rumawas, dosen Jurusan Teknik Kelautan yang saat ini masih menempuh pendidikan doktoral di Norwegia. Dari data di website RINA tercatat penerima Institution Medal of Distinction sebanyak dua orang, Jeom Paik Prize satu orang, Samuel Baxter Prize satu orang, WHC Nicholas Prize satu orang, Ian Telfer Prize satu orang, dan David Goodrich Prize satu orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement