Kamis 14 Apr 2016 15:00 WIB

Nirwono Yoga, Pengamat Tata Kota: Konsep Pemprov Masih Mentah

Red:

Apa pendapat Anda mengenai penggusuran di Luar Batang?

Penertiban Luar Batang tidak dilakukan dengan persiapan yang sangat matang. Artinya, yang bisa kita lihat sampai hari ini, Dinas Tata Kota dan Dinas Pariwisata itu tidak memiliki konsep pengembangan Kampung Luar Batang, Pasar Ikan, dan Museum Bahari.

Ini terlihat masih mentah karena sampai hari ini, mereka tidak punya desain itu. Kalau seperti itu, konsep wisata bahari internasional yang dicanangkan gubernur belum siap konsepnya seperti apa, mengapa diterbitkannya sekarang.

Jadi, penggusuran tidak tepat?

Kalau saja ada konsepnya, tentu akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menggusur dan berdialog dengan masyarakat. Jelaskan kepada masyarakat, ini kan mau dibikin wisata bahari, maka kami akan butuh Anda.

Masak wisata bahari nggak ada nelayan, nggak ada pasar ikannya, itu mau jadi apa? Kalau seperti itu, museum saja. Ini jadi terlihat rencana pemerintah itu seperti omong kosong. Aneh, antara yang disampaikan Gubernur dan di lapangan nggak nyambung.

Kalau ada konsep, masyarakat bisa melihat dan mungkin mereka bisa bekerja lagi di situ. Selanjutnya, ini yang lebih penting lagi, apakah tanah di sana sudah dikavling-kavling oleh pengembang atau belum. Kalau sudah, ini yang lebih berbahaya karena nanti kalau wisata internasional sudah jadi, yang paling diuntungkan sudah pasti mereka.

Ada dugaan ke arah sana?

Jangan sampai, rencana ini dibungkus dengan kedok revitalisasi, tapi ternyata menguntungkan pengembang yang ada di daerah situ. Saya katakan, kota kan punya rencana kota.

Karena, berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) Jakarta 2030, kawasan Luar Batang dan sekitarnya, masuk kawasan ungu, bukan kawasan hijau. Kalau kawasan dermaga di Sunda Kelapa, memang bisa dibuat jadi hijau.

Tapi, secara keseluruhan Luar Batang, Museum Bahari, dan sekitarnya itu diplot warna ungu, artinya untuk daerah perkantoran, perdagangan, dan jasa. Kalau memang tidak siap, mengapa dipaksakan dibongkarnya sekarang? Itu lebih lucu lagi, bongkar dulu, baru bikin desain.

Salah satu alasan pemprov karena penyakit TBC, bagaimana menurut Anda?

Ini  karena mereka menganggap kampung nelayan kumuh dan bau, tidak sehat. Yang harus dilakukan adalah peremajaan kampung. Balik lagi, ketika membicarakan wisata bahari, apakah itu mengharamkan kampung nelayan yang bau dan kumuh tadi?

Ini terjadi karena tidak adanya sosialisasi lantaran Pemprov DKI Jakarta  tidak memiliki rencana yang matang. Tahunya, kalau wisata internasional itu steril, higienis, tidak boleh ada kampung kumuh apalagi bau.

Ini pertanda pemimpin tidak mau berhadapan dengan masyarakat?

Itu kembali lagi karena tidak didasarkan pada konsep perencanaan yang kuat. Jadi, ketika ditanya masyarakat, dia tidak akan bisa ngomong. Jangankan gubernur, wali kota juga pasti bingung kalau ditanya tanpa perencanaan yang matang. Itu yang disesalkan.

Bukan berarti karena mereka masyarakat miskin dan tinggal di kampung kumuh, mereka tidak diperlakukan secara manusiawi. Kalau memang perencanaanya bagus, tentu masyarakat akan mendukung dan tak ada penolakan, bahkan justru ada perayaan, lebih elegan.

Jangan sampai, wisata bahari yang dimaksud itu menjadikan warga lokal hanya sebagai penonton.    Oleh Rizkyan Adiyudha, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement