Ahad 13 Mar 2016 14:13 WIB

Prof Gerry van Klinken Kelas Menengah Muslim Cenderung Konservatif

Red: operator

Populasi kelas menengah Muslim Indonesia meningkat pesat. Pengaruh mereka menguat dalam peta sosial- politik masyarakat Indonesia. 

Fenomena pascareformasi itu menarik minat Prof Gerry van Klinken, pe neliti senior dari Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV). 

Bersama sederet peneliti lain, Prof Gerry melakukan riset di sejumlah kota di Indonesia ihwal fenomena mutakhir entitas Muslim Indonesia itu. Hasil penelitiannya terangkum dalam sebuah buku berjudul In Search of Middle Indonesia - Middle Classes in Provincial Towns. 

"Mereka senang dengan politik dan memiliki kecenderungan agama yang konservatif," kata Prof Gerry van Klinken di Centrefor Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Selasa (8/3) malam. 

Ke cenderungan bersikap konservatif ini unik lantaran kelas menengah mempunyai pergaulan luas dan tingkat pendidikan cukup. 

Kelas menengah ini menurutnya tidak menempati kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, tetapi tinggal di kota-kota menengah di tingkat provinsi, seperti Kupang dan Pekalongan.

Berikut petikan wawancara Republika dengan Guru Besar Sejarah Asia Tenggara pada Universitas Amsterdam ini selepas diskusi "Konservatisme dan Pengalaman Beragama Kelas Menengah Indonesia" dalam rangka milad ke-52 Ikatan Mahasiswa Muslim (IMM), Selasa (8/3) malam.

 

 

Apa definisi konservatisme dan bagaimana kaitannya dengan kelas menengah?

Yang dimaksud dengan konservatisme da lam penelitian ini adalah keraguan untuk masuk ke dalam dunia demokratis, ke tika orang memiliki berbagai macam pan dang an yang tidak semua sama dengan pandangan kita dan memiliki identitas yang juga berbeda. Sebuah masyarakat yang pluralis. Sedangkan, yang dinamakan progresif adalah orang yang suka hidup di dalam dunia demokrasi, pluralis, dan bisa me ngem bangkan semacam kebersamaan bahkan membangun sebuah masa depan yang lebih cerah.

Mengapa hal itu dikaitkan dengan kelas? 

Karena, menurut beberapa ilmuwan sosial, orang berpendidikan tinggi yang bekerja sebagai profesional di kota-kota besar, seperti Jakarta, rata-rata lebih terbuka untuk paham yang progresif. 

Sedangkan, orang yang tinggal di kota kecil, yang bekerja tidak memiliki profesi yang baik, mungkin buruh yang tidak terampil atau semiterampil, yang --maaf-- juga tidak terlalu bisa memimpin sebuah organisasi, misalnya, dia cenderung agak lebih curiga dengan soal semacam itu. Jadi, kita sebut konservatif.

Bagaimana Anda melihat kelahiran kelas menengah Muslim di Indonesia? 

Kalau kaum Muslim selalu ada, tidak lahir karena memang sudah ada. Kalau kelas menengah memang itu lahir karena sebelumnya orang miskin kemudian dia menjadi lebih makmur. Masuklah dia kategori kelas menengah. Nah, yang menjadi lebih menarik buat kami para peneliti adalah ketika dia bertambah makmur, apakah pandangan dia tentang agama juga berubah, itu sesuatu yang menarik untuk diketahui. 

Kalau perubahan mobilitas sosialnya sangat tinggi ketika dia menjadi mungkin berpendidikan universitas, seorang dosen ilmu sosial di universitas misalnya begitu, pasti akan mengubah juga pandangan dia tentang agama. Hampir bisa dipastikan. 

Karena, dia banyak membaca, banyak bergaul dengan orang yang berbeda, banyak ber pikir tentang masa depan bangsa ini. 

Sedangkan, kalau dia baru keluar dari kemiskinan, dia sudah bisa disebut dengan kelas menengah, tapi kemungkinan pan dangan agamanya masih mirip dengan sebelumnya sehingga mungkin dunianya lebih kecil.

Menurut pengamatan berbagai pihak, antara lain Asian Development Bank, kelas menengah di Indonesia bertambah secara luar biasa belakangan ini akibat pem bangunan Orde Baru yang membawa kemakmuran. Banyak sekali orang keluar dari kemiskinan dan memasuki kelas menengah dari bawah. 

Bila pada 1999 masih jauh lebih sedikit angkanya, dalam waktu sepuluh tahun bertam bah dari 25 persen sampai 43 persen. 

Un tuk mengetahuinya, dia menggunakan tolok ukur konsumsi. Jadi, siapa yang mengeluarkan per orang per hari lebih dari dua dolar sudah dianggap kelas menengah. Jadi, memang ambang yang sangat rendah.

Tapi, bagaimanapun cara lain mengukur?

nya, misalnya, dilihat dari barang apa yang di dalam rumah, atau tingkat pendidikan yang dicapai, misalnya SMA ke atas, atau kegiatan rutin membaca koran, itu juga menunjukkan angka yang mirip. 

Yang dapat kita lihat misalnya, berbeda sekali dengan Orde Baru. Rata-rata ilmuwan sosial berkata, kelas menengah pada masa Orde Baru di Indonesia tidak lebih dari 10 persen, sekarang sudah menjelang hampir dari separuh penduduk di Indonesia. Kami melakukan pengamatan, tidak dengan statistik.

Seperti apa karakteristik kelas menengah Muslim di Indonesia yang Anda amati? 

Muslim kelas menengah memang banyak macamnya karena Muslim juga banyak macamnya sehingga tidak bisa dikatakan jadi satu warna saja. Memang tidak bisa. Yang kita bisa melihat sendiri, di kota, ke las mene ngah ada yang berafiliasi ke Muhammadiyah, NU, ada yang beragama Islam tapi tidak mengamalkannya. Jadi, memang sulit dikarakterkan. Secara umum, saya kira sama dengan kelas menengah lain pada umumnya. Suka gadget, suka fashion, agak santai dengan demokrasi.

Namun, kelas menengah cenderung puritan. Bagaimana Anda membaca realitas ini?

Secara teknis memang saya melihat demikian. Itu menjadi masalah mungkin ya, hanya melihat dunia hitam putih. Yang benar yang salah. Sama dengan rumus matematika. 

Antara benar dan salah, banyak yang lain. 

Itu sering terjadi. Saya tahu sendiri. Tidak hanya di sini. Di negara Barat, yang beragama Kristen juga begitu. Ada juga Kristen konservatif, fundamentalis.

Kita tidak tahu pasti. Kita masih memerlukan penelitian untuk bisa membedakan berapa besar jumlah yang rigid dan berapa besar jumlah yang terbuka/pluralis. Di mana-mana dua kelompok itu ada. Saya di Yogyakarta, misalnya, menemukan dua kelompok itu pasti ada di kampus. Berapa pengaruhnya masing-masing itu saya sulit menentukannya.

Kami membuat etnografi di sebuah kota menengah. Jadi, ada mahasiswa saya yang membuat studi di Pekalongan, Cilegon, Pontianak, Ternate, Kupang, tapi tidak khusus agama. Yang khusus agama hanya Noorhaidi Hasan. Dia membuat satu penelitian agama di Kebumen dan Martapura. Dan dia justru menemukan kelas menengah di kedua kota itu terbuka, sedikit yang kaku.

Berdasarkan penelitian Anda, bagaimana tingkat konservatisme di kalangan kelas menengah Muslim Indonesia?

Pemeluk agama di Indonesia ada yang konservatif, ada yang progresif. Ini dikotomi yang sering dipakai. Yang lain masih banyak. Yang menjadi pertanyaan, apakah perbedaan antara keyakinan itu bisa kita korelasikan dengan sebuah konstelasi sosial, ada tidak hubungannya dengan kelas, ada tidak hubungannya dengan lokasi. Itu yang menjadi pertanyaan saya.

Mengenai agama di kota-kota menengah, saya ambil datanya dari World Values Survey yang pernah dilakukan juga oleh UIN Ciputat pada 2001 dan 2006. Cukup me narik juga datanya, saya kutip sedikit di sini. Kelas menengah di kota-kota menengah di Indonesia cenderung lebih bersifat konservatif. Angka itu berasal dari sebuah survei yang bukan kami yang melakukan, saya kutip dari tempat lain, dan tidak disebut nama-nama kota mana. Dia ha nya menyebut kota itu besarnya berapa penduduk, lalu pendapatan dari orang itu masing-masing, jadi kami tidak bisa melacak lagi dari kota-kota mana. Penelitian kami yang kualitatif dan penelitian UIN Jakarta yang melakukan survei kuantitatif itu tidak bisa dipertemukan.

Kegaduhan di dunia maya apakah juga merepresantasikan realitas kelas menengah Muslim?

Saya kira rata-rata kelas menengah di Indonesia apakah beragama Islam, beragama lain, atau tidak beragama semua suka dengan media sosial. Indonesia menjadi negara dengan pengguna Facebook terbesar di dunia. 

Sangat luar biasa. Dan itu, apakah itu akan juga mengubah wacana orang, itu yang sedang diteliti juga. Ada orang yang bilang ka rena Facebook ini bisa berhubungan ke mana-mana, dia pasti akan mengubah wacana. 

Ada yang lain mengatakan, ya tapi dia tidak pernah membaca yang dari negara lain. 

Dia hanya membaca dari negara sendiri, bah kan dia membaca hanya dari aliran dia sendiri saja. Sehingga, tidak belajar sama sekali, dia hanya memperkuat apa yang sudah dipercayanya. Tidak ada yang membuka wacana. Di antara dua pandangan itu, sudah ada penelitian, tetapi belum jelas.

Generasi muda kelas menengah Muslim itu unik, religius, tapi tak antibudaya luar, seperti menggilai K-pop dan film Korea. 

Menurut Anda?

Menarik. Hm, di dalam dua survei yang saya kutip tadi, ada juga dua pertanyaan mengenai jilbab dan yang terlihat di sana, di antara anak muda, baik yang miskin, kelas menengah, atau kaya, sangat percaya dengan perlunya jilbab. Tapi, kalau melihat orang yang berumur lebih tua, umur 40-an, itu banyak yang tidak terlalu suka. Sehingga, sepertinya ini menjadi semacam fashion antargenerasi. Sepertinya.

Jadi, tidak tahulah. Anak muda di Indonesia pandai membuat fashion yang cocok untuk membuat dia merasa saleh sekaligus merasa have fun. Ini keterbukaan yang luar biasa dari anak-anak muda. Ini yang membuat saya optimistis dengan masa depan Indonesia.

 

Sejauh mana kelas menengah Mus lim itu merepresentasikan Islam Indonesia?

Dalam hal ini, saya senang berkata kepada kawan saya dari Timur Tengah. Coba berkunjunglah ke Indonesia karena bisa belajar bagaimana demokrasi dengan penuh optimis. Karena, demokrasi lagi rusak di Timur Tengah, dan itu banyak hubungannya dengan agama juga. Bukan agama yang menyebabkan, melainkan hubungan agama antara Syiah dan Sunni sekarang la gi bergejolak. Jadi, cobalah bertanya ke Indonesia, bagaimana seharusnya. Jadi, saya kira ini sudah bukan saatnya berkomunikasi ke bawah, tapi juga berkomunikasi ke luar negeri. Kalau lagi umrah, coba jangan cuma umrah saja, berkunjung ke Mesir, Aljazair, Suriah, Irak. Coba sedikit memasyarakatkan bagaimana orang Indonesia beragama dan bermasyarakat.

Seperti apa prospek kelas menengah Muslim di Indonesia ke depan? 

Saya kira untuk membangun demokrasi yang kokoh ke depan, akan sangat baik kalau terbangun komunikasi yang lebih intens lagi antara kelas menengah Muslim atau non- Muslim dengan orang-orang kelas bawah. 

Itu sangat perlu untuk membangun saling pemahaman. Biarpun dia aliran agamanya beda atau kebiasaan atau praktik-praktiknya berbeda, bahasanya berbeda, penampilannya berbeda, tapi kalau tidak ada seperti itu nanti demokrasi di Indonesia hanya akan berfungsi untuk kelas menengah itu. Yang lain-lain tidak dapat sehingga itu akan membuat demokrasi menjadi rapuh. Itu yang saya paling prihatin.   c32, ed: Nashih Nashrullah 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement