Ahad 13 Mar 2016 14:11 WIB

Kitab Al-Belut Argumentasi Hukum Halalnya Belut

Red: operator

Belut dikategorikan hewan air yang tidak mampu eksis di darat, karena itu hukumnya halal.

 

"Jenis ikan yang panjang berwarna kuning, bentuknya seperti ular, tetapi licin tidak punya sisik dan hidup di sungai, sawah, dan bebatuan yang dipenuhi air." Kutipan sederhana ini, mengiringi judul sebuah risalah sederhana yang mengupas tuntas pembahasan soal belut dan hukum halal mengonsumsinya bertajuk Kitab al-Belut, tapi sangat luar biasa, tercetus dari ulama Nusantara, Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Bughri al-Batawi al-Jawi. 

Barangkali, ini satu-satunya risalah yang secara khusus fokus membeberkan argumentasi yang menguatkan status halal memakan belut. Kehadiran kitab ini juga berangkat dari perdebatan yang muncul di kalangan ulama nusantara menyikapi persoalan ini.

Sebagian kalangan menghukumi haram belut, tapi tak sedikit pula, termasuk Syekh Muhktar, beranggapan bahwa belut boleh dikonsumsi. Ketika itu, pada abad ke-19 diskusi menyoal hukum belut pun tak terelakkan antara para tokoh yang berada di Makkah dan ulama yang berada di Tanah Air melalui korespendonesi surat. Dari sinilah, muncul inspirasi dan dorongan menulis risalah khusus soal belut.

Di samping itu, belut atau yang dikenal dengan Fluta alba (zeuiew) ini penyebarannya banyak ditemukan di perairan tropis yang bersuhu antara 25 hingga 31 derajat Celsius, mencakup perairan Asia, seperti Jepang, Cina, Malaysia, dan Indonesia. 

Sejalan dengan fakta inilah, tampak relevansi kutipan tentang informasi singkat belut di awal pembuka resensi ini, menyertai tepat menyusul judul risalah Kitab al-Belut. Setidaknya, bagi para pembaca atau pengkaji Kitab al-Belut yang tidak pernah bersinggungan dengan hewan hermaprodit ini, seperti mereka yang tinggal di jazirah Arab nan tandus, akan terlintas gambaran mengenai apasih sebetulnya belut? 

 

Klasifikasi 

Tokoh kelahiran Bogor, Jawa Barat, 14 Februari 1862/ 14 Sya'ban 1278, ini mengawali risalahnya yang berjudul lengkap As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hal al-Belut waar-Raddu ala Man Harramah dengan pembahasan ihwal klasifikasi hewan.

Ia menjelaskan bahwa binatang secara xumum terbagi menjadi empat kategori, hewan darat yang tidak akan hidup di air sejak dari karakternya, ayam dan kucing. 

Kedua, hewan darat yang mampu hidup di air, seperti burung-burung yang bisa hidup di air. Hidup mereka sejatinya adalah di darat, keberadaan mereka di air hanya sementera dan untuk kepentingan tertentu. 

Ketiga, hewan air yang tidak akan mampu bertahan di darat, seperti mayoritas jenis ikan. Dan keempat, jenis binatang laut yang bisa hidup di daratan secara temporal. 

Hukum untuk tiap kategori pun berbeda-beda. Hewan kategori pertama dan kedua, ada yang halal dan sebagian haram. Sedangkan, untuk kategori ketiga, halal hukumnya. Binatang jenis kelompok ketiga, juga halal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar dan ar-Rimali dengan catatan, kemampuan hidup di darat tersebut hanya temporal, tidak permanen. 

Selain keempat kategori ini, ada jenis binatang yang bisa diklasifikasikan kedalam kategori berikutnya, yaitu hewan yang hidup di dua alam, seperti katak dan ular, seperti dinukilkan dari pendapat Imam ar-Rafi'i dan an-Nawawi dalam kitab ar-Raudhah.Sekali pun, imbuh Syekh Mukhtar, jika ditelusuri lebih jauh dalam kitabnya al-Majmu', Imam an-Nawawi mengatakan binatang yang hidup di air, selain katak atau binatang yang beracun (berbahaya), hukumnya halal. 

Lantas, di manakah posisi dan status belut? Sebelum menjelaskan poin itu, Syekh Mukhtar yang pernah didaulat sebagai imam pengajar di Masjid al-Haram itu memaparkan pandangan para ulama tentang belut. Al-Jirits, begitu dikenal di masyarakat Arab, dikenal dengan jenis ikan yang mirip belut. 

Menurut Imam al-Baghawi, ikan ini dihukum halal seperti pendapat para sahabat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, dan Yazid bin Tsabit, serta Abu Hurairah, termasuk pandangan Imam Malik dan Syafi'i. 

Syekh Muhktar menegaskan, dari kategorisasi di atas, belut adalah hewan air yang tidak keluar ke darat, kendati memang terkadang keluar untuk keperluan dan waktu tertentu saja, tidak permanen, dengan demikian, belum termasuk kategori hewan yang keempat, dan hukumnya halal. 

Belut memang ada yang hidup di lubang-lubang rawa dan lumpur atau persawahan, tetapi tetap saja domisilinya tersebut didominanasi air karena belut tak bertahan tanpa air. Belut tidak termasuk hewan yang mampu eksis di dua alam, darat dan air, seperti katak, buaya, atau ular. Buktinya, jika lumpur atau area persawahan mengering, belut raib sama sekali. Karena itu, hukum nya adalah halal. 

Pada bab berikut nya, Syekh Mukhtar yang bermazhab Syafi'i ini mem bantah anggapan pengharaman belut didasari alasan menjijikkan. Menurutnya, anggapan tersebut keliru lantaran takaran menjijikkan atau tidak pada konteks belut, hanya merujuk pada cita rasa yang bernuansa karakter orang Arab dengan tingkat kesejahteraan yang lebih. 

Takaran itu tentu tak bisa serta merta dipukul rata begitu saja. "Saya mencicipi sendiri dan kebanyakan orang dari kalangan ulama atau awam, baik pada era dulu dan kini, justru belut lebih lezat di banding jenis ikan lainnya."

Ternyata, diskusi dan pertanyaan seputar belut juga pernah disampaikan langsung kepada Syekh Mukhtar. Para penanya itu datang dari Yaman, Homs (Suriah), dan para ulama di Makkah. 

Tak cukup sampai di sini, bahkan untuk memastikan hukum halal itu, Syekh Mukhar tidak segan-segan mengonsultasikan hukum belut dengan memaparkan definisi dan karakter belut kepada para ulama yang lebih alim. 

Jawaban mereka sama bahwa belut yang juga juga dikenal dengan istilah al-Jirits dan Marma halal hukumnya. 

"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu." (QS al-Maidah [5] : 96). 

 

"Saya mencicipi sendiri dan kebanyakan orang dari kalangan ulama atau awam, baik pada era dulu dan kini, justru belut lebih lezat di banding jenis ikan lainnya.  Oleh Nashih Nashrullah 

 

 

 

Guru Teladan Ulama Nusantara 

 

Menetap di Makkah dan menjadi pengajar di Masjid al- Haram selama 28 tahun, Syekh Mukhtar adalah guru teladan para ulama Nusantara. Pengetahuannya luas, akhlaknya luhur, dan dicintai umat. 

Tokoh bermazhab Syafi'i dalam aspek fikih dan penganut Asy'ari-al-Maturidi di bidang teologi ini merupakan rujukan para pencari ilmu. Pengajiannya diikuti tak kurang oleh 400 murid. 

Di antara nama ulama nusantara yang pernah berguru kepada kepada murid kesayangan Sayyid Utsman Betawi, Jakarta, ini adalah Haji Abdullah Fahim (Mufti Pulau Pinang), Tengku Mahmud Zuhdi (Syeikh al-Islam Selangor), dan Sayyid Muhsin bin Ali al- Masawi (Pendiri Madrasah al-Ulumid Diniyah, Makkah). 

Adik dari Syekh at-Tarmasi, Kiai Ahmad Dimyathi serta KH Hasyim al-Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga pernah berguru ke Syekh Mukhtar. Demikian pula Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani yang merupakan tokoh gudang sanad abad ke-20.

Selain Kitab al-Belut, ia juga mengarang sejumlah karya tulis dan tetap produktif hingga wafat pada 13 Juli 1930 meski sebagian karya itu sudah tak terlacak keberadaannya hingga saat ini. Di antaranya adalah Taqrib al-Maqshad fi al-Amal bi Rub' al-Mujaiyab, ad-Durr al-Munif, fi Syarh Wird al-Lathif, Ithaf as-Sadat al-Muhadditsin bi Musalsalat al-Hadits al-Arba'in, dan lainnya.  Oleh Nashih Nashrullah 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement