Ahad 13 Mar 2016 13:53 WIB

Tren Diskriminasi Muslimah AS

Red: operator

Sekitar 72 persen Muslim Amerika adalah imigran atau generasi kedua.

 

"Perlakuan tak mengenakkan kerap dikaitkan dengan jilbab saya,"  kata Ayesha Durrani, mahasiswi Universitas Johns Hopkins, Maryland, Amerika Serikat, kepada Huffingtonpost, pekan lalu. Durrani mengaku, tindakan tersebut sering ia dapatkan ketika berada di ruang publik. 

Sewaktu berbelanja di pusat perbelanjaan, ia dan teman Muslimahnya diolok-olok dengan mengaitkan mereka kepada terorisme.

Perlakuan diskiminasi tersebut juga ia rasakan saat sedang melakukan perjalan menuju kampus. Saat berada di transpostasi umum, seorang pria menuduhnya aneh karena menggunakan kerudung. 

Tindakan diskriminasi tak terhenti sampai di situ. Tas ransel yang dibawa oleh Durrani disebut berisi bom. Penumpang lain bersifat tak acuh. Sementara, Ayesha merasa ketakutan karena sikap pria tersebut.

Diskriminasi yang diterima oleh Durrani memang hanya dilakukan oleh oknum, teman non-Muslimnya tidak melakukan hal tersebut. Kendati demikian, diakui atau tidak, ungkap Ibrahim Hooper, juru bicara Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR), sebuah kelompok advokasi Muslim, Muslimah AS sering memperoleh perlakuan kasar saat berada di tempat umum. Seperti, kekerasan verbal saat berada di restoran, penyerangan sehabis dari masjid dan lainnya.

Hooper mengungkapkan, buntut dari peningkatan diskriminasi ini membuat organisasinya tersebut menerima banyak laporan sehingga tidak memiliki jeda untuk bersantai-santai. "Kami bahkan tidak memiliki waktu untuk bernapas," 

ujar Hooper, seperti dilansir Aljazeera.

Secara terpisah, Komisioner Hak Asasi Manusia (HAM) Organisasi Kerja sama Islam (OKI) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, Islamofobia di negara Paman Sam ini mengalami peningkatan pascaperistiwa 9/11. Target Islamofobia itu menyasar umat Islam, tak terkecuali Muslimah.

Insiden penyerangan Charlie Hebdo dan keberadan kelompok ekstremis Islam, turut menyumbang eskalasi diskriminasi di negara tersebut. Ini, antara lain, tampak jelas dari sikap yang ditunjukkan oleh bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, yang mendeskreditkan Islam. 

Edukasi Namun, saat ini, menurut Siti, meski mengalami peningkatan, tetapi ada gejala Islamofobia mulai berkurang. Hal itu menyusul berbagai upaya edukasi oleh kelompok-kelompok Islam moderat yang ada di negara tersebut. Edukasi ini sering terganggu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga sering memunculkan sentimen-sentimen anti- Islam.

"Diskriminasi yang dialami perempuan umumnya adalah kerudung atau jilbab yang masih dikaitkan dengan fanatisme dan bahkan terorime," ujar Siti kepada Republika saat ditemui dalam acara diskusi "Experiencing Islam in America: Woman" 

yang digelar oleh Kedubes AS di Jakarta, Selasa (8/3).

Ia melanjutkan, untuk di area publik, diskriminasi sering kali muncul dalam bentuk pandangan yang tidak menyenangkan. Secara personal, masih ada Muslimah yang susah mencari pekerjaan karena berkerudung. 

Namun demikian, di Amerika atau di Barat secara umum sudah ada lembaga pengaduan yang membantu mereka yang mengalami diskriminasi untuk memperkarakan secara hukum.

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menambahkan, diskriminasi yang dialami Muslimah AS hanya bersifat kasuistik. Namun, secara policy tidak demikian. 

Konstitusi dan kebijakan Amerika sangat terbuka dengan keberadaan Muslimah di AS. "Jadi, secara hukum (diskriminasi) bukan tradisi AS. Namun, dalam praktik memang masih ada dilakukan oleh oknum tertentu," katanya.

Menurutnya, tindakan diskriminasi yang diterima oleh Muslimah di AS juga sangat dipengaruhi oleh pemberitaan yang terdapat di media. Baik media elektronik, film, media online, media sosial, dan lainnya. 

Media sering kali tidak utuh dalam memberitakan, sehingga sering menimbulkan prasangka yang akhirnya akan menjadi perlakuan diskriminasi kepada kaum minoritas, dalam hal ini Muslimah AS. Oleh Marniati, ed: Nashih Nashrullah 

Meski konstitusi dan kebijakan Amerika Serikat sangat terbuka dengan keberadaan Muslimah, kasus diskriminasi tetap marak. 

 

 

 

Populasi yang Terus Tumbuh

Islam adalah agama terbesar ketiga di Amerika Serikat setelah Kristen dan Yahudi. Studi Pew Research pada 2010 menyebutkan, jumlah Muslim di AS, yakni 0,9 persen dari populasi. 

Namun, perkiraan baru pada 2016 akan ada 3,3 juta Muslim yang tinggal di Amerika Serikat atau sekitar satu persen dari total penduduk AS.

Edward E Curtis, dalam Muslims in America: 

A Short History (2009) menyebutkan, dari 1880- an hingga 1914, ribuan Muslim yang berasal dari wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Ottoman dan Mughal berimigrasi ke Amerika Serikat Migrasi tersebut mengakibatkan lonjakan populasi yang drastis pada abad ke-20. Pertumbuhan jumlah umat Islam di Amerika ini juga didorong dengan tingginya angka kelahiran dari komunitas imigran keturunan Arab dan Asia Selatan. Sekitar 72 persen Muslim Amerika adalah imigran atau generasi kedua.

Muslim Amerika berasal dari berbagai latar belakang etnis dan ras. Ada yang asli kelahiran Am erika ataupun dari negara lainnya. Dilansir dari colostate.edu, Muslim Amerika terdiri atas Afrika- Amerika, Indo-Pakistan, Arab, Afrika, Turki, dan Asia Tenggara. Jumlah terbanyak mereka ter da pat di California, New York, Illinois, New Jersey, Indiana, Michigan, Virginia, Texas, Ohio, dan Maryland.

Dalam The Muslims of Early America, Peter Manseau menyebutkan, Islam pertama kali datang ke Amerika Utara pada 1528 saat seorang budak asal Maroko terdampar di dekat Galveston, Texas. 

Sang budak dan empat temannya kemudian melakukan perjalanan ke banyak tempat di Ame rika sebelum mencapai Kota Meksiko. Masuknya Islam ke Amerika tidak lepas dari pedagang, wisatawan dan pelaut.

Adapun Muslim pertama yang berdomisli di Amerika Utara, yakni Anthony Janszoon van Salee. Ia merupakan pemilik lahan dan pedagang campuran Belanda yang menetap di New Belanda atau yang lebih dikenal New york pada abad ke-17 M.  Oleh Marniati, ed: Nashih Nashrullah 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement