Ahad 07 Feb 2016 18:06 WIB

Suluk

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Suluk secara harfiah berarti me nempuh (jalan). Kata suluk berasal dari terminologi Alquran, fasluki, yang terdapat dalam surah an-Nahl ayat ke-69, fasluki subula rabbiki dzululan, yang artinya, dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).

Dalam kaitannya dengan Islam https:id.wikipedia.org/wiki/Islam dan sufisme https:id.wikipedia.org/wiki/Sufis me, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) berarti disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris Islam (syariat) sekaligus atur an-aturan esoteris Islam (hakikat).

Bersuluk juga mencakup hasrat untuk mengenal diri, memahami esensi kehidupan, pencarian Tuhan, dan pen carian kebenaran sejati (Ilahiah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat la hiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan. Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Dalam komunitas tarekat, pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai kehidupan rohani.

Syekh Muhammad Ali Ba'athiyah, seorang ulama Yaman kontemporer melalui kitabnya as-Suluk al-Asasiyyah (2015: 2-3) menerangkan hakikat suluk adalah jalan yang ditempuh oleh seorang mukmin yang dilaluinya, baik pada waktu malam, siang, maupun pada seluruh waktu dan jam. Suluk juga berarti cara atau metode yang ditempuh oleh seorang mukmin yang saleh, bertakwa, yang hatinya wara' (hati-hati), bersih dan lurus, yang de kat kepada Allah dan jauh dari setan dalam setiap detik perjalanan umurnya bersama Allah SWT tidak untuk selain-Nya.

Sastra Jawa

Dalam perspektif lain, dalam sastra Jawa, suluk berarti ajaran falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan. Sedangkan, dalam seni pedalangan, suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana tertentu (Abimanyu, 2014: 191).

Para wali penyebar Islam di Ja wa atau Wali Songo dikenal kerap menggunakan suluk sebagai media dalam mendakwahkan Islam. Barangkali sebab masyarakat Jawa kala itu masih sangat akrab dengan sastra, para wali dengan ide cerdasnya menggunakan media suluk ketika berdakwah.

Sunan Bonang dikenal banyak mengasilkan banyak karya sastra, seperti contoh Suluk Wali, Suluk wragul, Suluk Wujil, Suluk Regol, Suluk Kaderesan, dan lain-lain. Ada pula Su nan Kalijaga seperti pada suluk ter kenalnya, yakni Suluk Linglung.

Sebagaimana suluk pada umumnya, dalam Suluk Linglung pun berisikan pepeling (nasihat) yang sarat akan nilai dakwah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Di antara aspek yang tersirat maupun tersurat dalam Suluk Linglung di antaranya, yakni berupa nasihat mengenai pengendalian nafsu, berserah diri, tafakur, dan menjalankan syariat Islam.

Selain dalam suluk dalam bentuk karya sastra, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga juga banyak menggubah su luk menjadi karya seni lain berupa tem bang (nyanyian). Budayawan Em ha Ainun Nadjib adalah salah se orang yang rajin menggunakan tem bang suluk dalam setiap dakwah-dakwahnya.

Suluk profetik

Ihwal karya sastra digunakan se bagai suluk untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, penyair bernama Di mas Indiana Senja barangkali tengah menempuhnya. Melalui buku kumpulan puisi bertajuk Suluk Senja (Pustaka Senja, 2015), Dimas ingin menjadi pesalik dan puisi-puisinya menjadi suluknya. Melalui puisi-puisi apiknya, ia berusaha memaknai suluk dari yang filosofis.

Simaklah puisi berjudul "Suluk Senja", filosofis ketika mengar tikulasikan diri sebagai pesalik. Ia menulis, "Aku tak pernah mengeja bahasa malam demi amanat yang tak putus sanadnya, demi moyang yang selalu kudus namanya. Menekuri setiap kharakat cinta yang disabdakan semesta." Kesadaran penyair sebagai hamba Tuhan yang terus mengeja kehidupan sungguh hadir. Penyair pun seolah begitu menggamblangkan diri sebagai amanat yang harus ditekuni setiap kharakatnya dengan cinta kepada semesta.

Jika puisi berjudul "Suluk Senja" begitu filosofis dalam menggambarkan perjalanan dalam hal vertikal (hablummi nallah), berbeda dengan puisinya berjudul "Dalam Zikir Senja; Saat Kau Mengajariku Cara Menasbihkan Cinta kepada Semesta" yang lebih kepada kesadaran penyair berkonteks horizontal (hablumminannas).

Ia menulis, "Yah, dalam dekap angin pantai sore itu, saat matahari/tiba-tiba muncul dari balik bukit di dadamu, tempat/ bersemayam penantian dan kesetiaan, tiba-tiba/ ombak menggulung, dan aku mendengar lantunan tasbih dari gedebur di hatimu. Sesekali kau mengajakku untuk menik mati buih-buih putih yang mengingatkanku pada pertemuan sunyi, yang kunamai percintaan paling puisi."

Puisi di atas merupakan puisi yang dipersembahkan kepada penyair Acep Zamzam Noor. Persembahan tersebut tak lain adalah wujud kesadaran penyair sebagai pesalik yang hakikatnya makhluk sosial. Maka, dalam perjumpaan-perjumpaan penyair dengan manusia lain pada waktu kapan pun, muaranya adalah puisi atau menuju kebaikan. Dua konsep vertikal dan horizontal sebagaimana tersirat pada dua puisi di atas, barangkali Dimas sebagai pesalik tengah menjajaki melalui suluk yang sufistik sekaligus profetik.

Oleh A Sultoni*

A Sultoni, lahir di Cilacap, 31 Agustus 1991; Pendidik dan Mahasiswa Pascasarjana UNS Surakarta Program Studi PBI. Ia juga peneliti di Institut Budaya Banyumas. Ia terkadang menjadi pemakalah dalam forum-forum kajian pendidikan. Sejumlah karyanya berupa puisi, cerpen, cerkak, geguritan, esai, dan artikel termuat di media massa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement