Senin 18 Jan 2016 13:00 WIB

BANYAK NEGARA REVISI ANGGARAN

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

OLEH RAKHMAT HADI SUCIPTO 

Negara pengimpor minyak pun harus menyesuaikan anggaran sesuai perkembangan harga minyak terkini.

Harga minyak mentah dunia yang merosot tajam hing ga pada kisaran 30 dolar AS per barel pada beberapa hari terakhir ini membuat cukup banyak negara kelabakan. Harga minyak tersebut jauh dari asumsi yang sudah ditetapkan dalam rencana anggaran tahunan mereka.

Fakta tersebut menjadi salah satu alasan yang membuat beberapa negara harus segera merevisi anggaran. Asumsi besaran harga minyak yang tak tepat juga bisa berimbas pada asumsi dasar lainnya. Bila gapantara asumsi dasar dan fakta terlalu jauh, dikhawatirkan bisa mengganggu kondisi keuangan secara keseluruhan.

Rusia bahkan langsung mengumumkan revisi anggaran demi menyesuaikan harga minyak mentah dunia yang sangat jauh dari perkiraan mereka. Anggaran tahunan Rusia mematok asumsi harga minyak sebesar 50 dolar AS. Tapi, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengungkapkan, anggaran Rusia bisa seimbang dengan harga minyak sebesar 82 dolar AS per barel. 

Selama ini pajak minyak dan gas mampu menyumbang setengah dari pendapatan Rusia. Anggaran federal Rusia 2016 yang disetujui pada Oktober 2015 lalu menggunakan angka asumsi harga minyak sebesar 50 dolar AS per barel. Angka asumsi ini jauh dari ke - nyataan sekarang. Karena itulah, pemerintah memutuskan untuk mengurangi pengeluaran atau belanja negara hingga 10 persen.

Selain menghadapi masalah karena harga minyak yang sangat rendah, ekonomi Rusia juga tak bergairah karena harga komoditas eks por juga loyo. Menteri Ekonomi Rusia Alexei Ulyukayev mengingatkan pemerintah, ne gara ini menghadapi ekonomi yang lesu se bagai dampak dari harga komoditas rendah yang sudah berlangsung lama. Kondisinya di perparah lagi dengan anjloknya harga minyak. 

Bila harga minyak mentah dunia terperosok pada kisaran 15-20 dolar AS per barel, kondisinya akan makin parah. \"Rusia akan menghadapi risiko paling besar bila harga minyak terus terjun bebas seperti saat ini,\"

kata Ulyukayev.

Bank Sentral Rusia pun ikut berjibaku menghadapi efek domino rendahnya harga minyak dunia. Bank of Russia menerapkan tingkat suku bunga sebesar 11 persen pada Desember lalu. Gubernur Bank Rusia Elvira Nabiullina mengingatkan akan munculnya volatilitas yang tinggi di pasar global. Tahun 2015 lalu, bank sentral negara ini mengejutkan market dengan menaikkan tingkat suku bunga dari 10,5 persen menjadi 17 persen. Ternyata langkah ini turut memacu tingkat inflasi yang bergerak pada level 15 persen.

Bank Rusia berharap inflasi pada tahun depan bisa turun hingga mencapai 4,0 persen.

Malaysia juga sudah memberikan sinyal segera mengubah anggarannya. Perdana Men teri Malaysia Najib Abdul Razak yang juga merangkap jabatan sebagai menteri keuangan, secara resmi akan mengumumkan re visi anggaran 2016 pada 28 Januari mendatang. 

Menurut Sekjen Kementerian Keuangan Malaysia Mohd Irwan Serigar Abdullah, harga minyak mentah dunia yang terus meluncur hingga menyentuh 29 dolar AS (sekitar 126 ringgit Malaysia) juga memengaruhi mata uang lokal ringgit. Pemerintah akan merevisi estimasi acuan harga minyak dalam anggaran demi menyeimbangkan neraca keuangan negara. Tentu besaran baru yang menjadi asumsi harus mendekati harga rata- rata yang bakal terjadi sepanjang 2016 ini.

Dalam anggaran 2016, pemerintah mematok asumsi harga minyak sebesar 48 dolar AS per barel. Najib melihat angka yang sudah di setujui pada Oktober 2015 ini sudah tidak rea listis lagi dengan kondisi yang ada selama ini. 

Pemerintah juga akan merevisi produk domestik bruto (PDB) 2016. Meski demikian, revisi baru diharapkan tetap membawa pertumbuhan. Pemerintah juga berjanji peruba- han PDB ini tak akan memangkas gaji atau honor para pegawai pemerintah. \"Pemerintah juga akan melakukan langkah-langkah penghematan di beberapa daerah, tetapi tetap tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi.\"

Malaysia memang harus banyak berbenah. Negara ini mengalami defisit anggaran sejak1998 hingga sekarang. Dalam anggaran 2016, pemerintah mengasumsikan besaran defisit sebesar 3,1 persen dari total PDB.

Bloombergmemperkirakan pemerintah akan menaikkan target defisit hingga 4,0 persen.

Kondisi ekonomi yang kurang kondusif jelas mengkhawatirkan banyak negara.

Malaysia sudah merasakan pahitnya ditinggalkan investor ketika kondisi ekonominya lesu. Investor sempat menarik dananya hingga 7,0 miliar dolar AS dari pasar ekuitas dan obligasi pada tahun lalu. 

Analis menuturkan, setiap terjadi kenaikan defisit menempatkan Malaysia pada risiko yang lebih besar di pasar modal. Sudah banyak investor yang menarik dananya ketika ter jadi kondisi seperti ini, apalagi bila negara- negara berkembang lainnya juga mengalami nasib serupa. \"Ketika uang investasi ditarik dan secara signifikan penyebabnya karena faktor volatilitas, seperti fluktuasi harga minyak mentah, tentu Anda akan sulit tidur nye nyak,\"

jelas Wellian Wiranto, ekonom Oversea Chinese Banking Corp di Singapura, seperti dilansir Bloomberg, beberapa waktu lalu.

Harga minyak mentah bukan faktor yang berdiri sendiri. Dampaknya makin menyakitkan ketika negara-negara mitra, baik mitra investasi maupun dagang, ternyata juga memberikan efek kejut yang besar juga.

Malaysia, contohnya, ternyata selama ini terpengaruh dengan kondisi yang terjadi di Cina. Perlambatan ekonomi Cina serta melemahnya mata uang yuan, membuat ekspor negara ini merosot. Bahkan, ringgit menjadi mata uang di Asia yang paling lemah ketika har ga minyak merosot dalam 12 tahun terakhir ini serta saat ekonomi Cina tak menentu.

Malaysia menjadi satu-satunya negara eksportir minyak di Asia yang bisa kehilangan potensi pendapatan hingga 300 juta ringgit (setara dengan 68 juta dolar AS) setiap terjadi penurunan harga minyak mentah sebesar 1,0 do lar AS per barel. Nasib buruk sepertinya akan terus menghantui Malaysia sepanjang 2016 ini. Mengapa? Karena perusahaan minyak pelat merah Malaysia Petroliam Nasional Bhd memperkirakan harga minyak men - tah akan bergerak pada level 30 dolar AS per barel.

India mungkin mengalami nasib yang lebih parah lagi. Negara ini menggunakan angka asumsi harga minyak sebesar 70 dolar AS per barel pada tahun fiskal 2015-2016.

Kementerian Keuangan pun menyatakan, angka yang paling pantas saat ini di bawah 50 dolar AS per barel. Pemerintah juga harus meninjau ulang besaran subsidi dan defisit fiskal pada anggaran 2016-2017. 

Pemerintah India akan mengajukan usulan revisi tersebut kepada Parlemen pada 29 Februari mendatang. Selain merevisi asumsi harga minyak dari 70 dolar AS per barel menjadi di bawah 50 dolar AS per barel, pemerintah juga ingin mengubah besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) karena masih mendasarkan pada asumsi 70 dolar AS per barel. Namun, pemerintah ingin menurunkan rencana defisit anggaran dari 3,9 persen menjadi 3,5 persen pada tahun fiskal 2016-17. 

Thailand juga sedang berjuang keras menggerakkan kemampuan konsumsi masyarakatnya. Pemerintah baru saja mengin- gatkan dampak rendahnya harga minyak telah memukul harga konsumen. Diperkirakan harga konsumen tak akan bergerak positif tahun ini setelah harga minyak jatuh. 

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Perdagangan, indeks harga konsumen di Thailand turun 0,85 persen Desember 2015 dari periode sama 2014. Angka ini lebih besar dibandingkan prediksi para analis yang menyebut 0,76 persen. \"Harga minyak mentah global menjadi faktor kunci terhadap inflasi,\" jelas Somkiat Triratpan, direktur Kantor Kebijakan dan Strategi Perdagangan Thailand, seperti diberitakan Bangkok Post, beberapa waktu lalu. \"Bisa saja inflasi kembali positif pada triwulan pertama 2016 ini, tetapi situasinya masih tak menentu karena harga minyak masih sangat rendah di bawah perkiraan kami.\"

Perusahaan minyak nasional Thailand PTT Exploration and Production Pcl (PTTEP)

juga sudah merasakan pukulan berat karena rendahnya harga minyak mentah global.

Perusahaan ini kemungkinan besar akan mengurangi anggaran investasi 2016 dari target semula sebesar 3,4 miliar dolar AS.

Perusahaan juga sudah menunda rencana ekspansinya di Kanada, Australia, dan Myanmar.

Meski menghadapi situasi yang tak kon- dusif, perusahaan hulu dari PTT Plc ini tetap ingin membeli 22,2 persen saham lapangan gas lepas pantai Bongkot milik perusahaan Inggris BG Group. \"Kami sudah mengirimkan proposal penawaran dan seharusnya sudah selesai pada semester pertama,\" kata Somporn Vongvuthipornchai, chief executive PTTEP.

Tevin Vongvanich, chief executiveof PTT, optimistis perusahaan bisa bertahan meski harga minyak turun menjadi 20 atau 30 dolar AS per barel. Dia beralasan kondisi keuangan perusahaan masih baik. Apalagi, perusahaan tak ingin berekspansi besar-besaran sebagai salah satu strategi agar tetap bertahan. 

Semua negara, bahkan pelaku industri, harus sangat cermat merancang rencana dan strategi. Ekonomi global yang masih lesu dan jatuhnya harga minyak menjadi awan panas bagi mereka. Bila tak bisa cermat menangkap peluang dalam kesempitan, awan panas ini bisa menjadi bencana yang sangat besar. 

RI Pun Berbenah

Meski tak lagi sebagai negara pengekspor minyak dan sudah berevoluasi menjadi negara net importir minyak, Indonesia tetap merasakan dampak anjloknya harga minyak mentah dunia. Sektor migas memang masih memberi pemasukan bagi negara, tetapi nilainya kecil. Tapi, secara keseluruhan, perubahan harga minyak bisa memengaruhi sektor-sektor lainnya.

Karena itulah, kemungkinan besar pemerintah akan merevisi asumsi makro dalam APBN yang lebih adaptif dengan kondisi riil saat ini. Sangat jelas asumsi harga minyak yang dipa tok dalam APBN sebesar 50 dolar AS per barel sudah tak sesuai dengan fak ta sekarang. Dengan mempertimbangkan harga minyak yang diperda- gangkan rata-rata pada level 30 dolar AS per barel saja, selisihnya sudah 20 dolar AS. 

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku sudah menyi- apkan rencana revisi tersebut. \"Yang pasti harga minyak yang revised down lain-lainnya nanti kita lihat lagi,\"

ungkap Bambang. Dampak rendahnya harga minyak jelas akan mengimbas penerimaan pos pajak penghasilan minyak dan gas (migas) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Alokasi dana transfer pemerintah pusat ke daerah berupa dana bagi hasil migas juga berubah.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menilai revisi APBN 2016 memang penting bila menghadapi situasi dan kondisi yang di luar perkiraan. Apalagi, Bank Dunia juga sudah merevisi target pertumbuhan ekonomi global. \"Kami menyambut baik apabila ada revisi APBN, dengan syarat-syarat yang dilakukan sehingga ada assessmentterhadap keselu- ruhan anggaran negara,\" jelas Agus.

Melihat APBN 2016, diperkirakan setiap pergeseran 1,0 dolar AS terhadap harga minyak akan mengurangi atau menambah penerimaan negara sekitar Rp 3,5 triliun hingga Rp 3,9 triliun. Pengaruhnya terhadap belanja negara sekitar Rp 2,5 triliun sampai Rp 3,6 triliun.

Sama dengan perusahaan dunia lainnya, perusahaan migas lokal Indonesia juga mengalami nasib tak menggembirakan dengan rendahnya harga minyak dunia. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan, rendahnya harga minyak membuat perusahaan harus bisa meningkatkan efisiensi pro- duksinya. Industri hulu migas mencatat penurunan nilai kontrak 6,0 persen setelah renegosiasi kontrak tahun lalu.

Sebelumnya, nilai kontrak industri mencapai 5,78 miliar dolar AS. Setelah renegosiasi kontrak pada pertengahan tahun 2015, nilai kontrak menurun menjadi 380 juta dolar AS hingga 5,4 miliar dolar AS. \"Banyak perusahaan migas yang memotong pengeluaran modalnya. Investasi untuk aktivitas eksplorasi juga menurun sampai 20,3 persen,\" jelas Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi.

Sektor migas masih menyumbang defisit dalam neraca perdagangan Republik Indonesia (RI). Pada periode Januari-November 2015, sesuai data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), defisit RI dari sektor migas mencapai 5,47 miliar dolar AS. Dalam 11 bulan 2015 tersebut, sektor migas selalu menyumbang defisit. 

Defisit migas terus terjadi karena nilai ekspornya selalu lebih rendah ketimbang nilai impornya. Pada Januari-November 2015, total nilai ekspor dari sektor migas mencapai 17,34 miliar dolar AS, sementara nilai impornya sebesar 22,8 miliar dolar AS. 

Selama tiga tahun beruntun sejak 2012 hingga 2014, migas menjadi sumber defisit neraca perdagangan RI. Pada 2012, total defisit neraca perdagangan RI mencapai 1,67 miliar dolar AS sebagai imbas dari defisit migas sebesar 5,59 miliar dolar AS, sementara dari nonmigas surplus 3,92 miliar dolar AS. Pada 2013, sumban- gan defisit dari migas melejit hingga 12,63 miliar dolar AS dan naik lagi menjadi 13,13 miliar dolar AS pada 2014. Beruntung pada 2013 dan 2014 kontribusi nilai ekspor dari nonmigas masih cukup besar, masing-masing 8,56 miliar dolar AS dan 11,24 miliar dolar AS. 

Tapi, sumbangan lumayan besar dari sektor nonmigas belum mampu menciptakan surplus neraca perda- gangan pada 2013 dan 2014. Secara total pada dua tahun tersebut RI men- galami defisit sebesar 4,08 miliar dolar AS dan 1,89 miliar dolar AS.

Semua terjadi karena sektor migas tidak lagi menjadi primadona bagi negeri ini. 

(rakhmat hadi sucipto)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement