Rabu 13 Jan 2016 16:54 WIB

Kalender Tanam Berantakan

Red:

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengakui kemungkinan terjadinya anomali cuaca tahun ini. Kondisi itu diperkirakan akan mengacaukan kalender tanam petani.

"Dengan adanya anomali iklim seperti El Nino dan La Nina, semuanya berantakan. Yang seperti ini akan kita susun kembali bagaimana adaptasinya," ujar Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Selasa (12/1). Ia menegaskan, sementara ini pemerintah akan terus memantau perubahan iklim global pada 2016 dan fenomena cuaca El Nino dan La Nina.

Siti menegaskan, fenomena cuaca tersebut jangan sampai mengganggu aspek lingkungan hidup dan ekonomi nasional. Siti juga menegaskan betapa pentingnya unsur lingkungan hidup karena memengaruhi ekologi, agroekologi, agroekonomi, sampai memengaruhi ekonomi.

Pada aspek pertanian, kata Siti Nurbaya, perubahan iklim menjadi acuan kapan petani tanam dan jenis tanaman apa yang cocok ditanam dalam kondisi tertentu.

Menteri yang berpengalaman menjadi penyuluh pertanian tersebut menerangkan, pemerintah setiap tahunnya memiliki kalender tanam yang disepakati oleh pemerintah daerah. Kalender tersebut memperkirakan dan menjadi penentu produksi pangan, jumlah benih, dan pupuk serta jenis tanamannya. Masing-masing wilayah berbeda, menyesuaikan curah hujan, kecepatan angin, evaporasi, dan segala embel-embel indikasi perubahan iklim.

Terkait anomali cuaca, penyusunan kalender tanam hasil adaptasi melibatkan banyak sektor. Di antaranya BMKG, Kementerian Pertanian (Kementan), dan pemerintah daerah, termasuk nantinya kepada petani selaku pelaku produksi pangan. Jangan sampai petani salah tanam sehingga mengakibatkan kegagalan panen.

Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Mulyono R Prabowo menegaskan, hasil pemantauan akan ditindaklanjuti guna mengantisipasi gangguan, termasuk terhadap kegiatan tanam pangan. "Ada beberapa skala waktu yang kita monitor agar tahu kapan tepatnya harus menanam dan jenis tanamannya apa," kata Mulyono, kemarin.

Terkait kalender tanam, BMKG bekerja sama dengan Kementan menyusun kalender tanam yang dinamis. Informasi-informasi tersebut seharusnya sampai kepada petani langsung, terutama di wilayah-wilayah sentra produksi pangan.

Hujan tapi kekeringan

Mulyono memaparkan, Indonesia diperkirakan memasuki puncak musim hujan pada Januari-Februari 2016. Namun, curah hujan tidak merata di setiap wilayah, bahkan sebagian wilayah akan mengalami kekeringan, misalnya Riau dan sebagian wilayah Kalimantan. Dalam kalender tanam, informasi tersebut akan dideteksi sehingga petani bisa menyesuaikan jadwal tanamnya.

Musim hujan, lanjut dia, akan terjadi di wilayah barat Indonesia, selatan khatulistiwa, diperkirakan hingga Juni 2016. Pada saat yang bersamaan, musim pancaroba atau transisi cuaca dari hujan ke kering harus diwaspadai.

Meski tidak dibarengi El Nino, menurut Mulyono intensitas puting beliung meningkat. "Selanjutnya, pada September atau Oktober, atau menjelang akhir tahun 2016 akan masuk lagi musim hujan dibarengi La Nina," ujarnya.

Pernyataan Menteri KLH soal jadwal tanam yang tak menentu sedianya sudah terjadi di beberapa wilayah. Memasuki musim tanam rendeng (musim hujan) belakangan, sejumlah daerah mengeluhkan hujan yang tak seberapa.

Para petani di pantura Kabupaten Indramayu dan Cirebon, misalnya, sudah mengeluhkan kekurangan air. Berdasarkan pantauan Republika di Kabupaten Indramayu, pemompaan telah dilakukan petani di Kecamatan Sliyeg, Kandanghaur, Losarang, Jatibarang, dan Lelea. Pemompaan dilakukan untuk menyedot air dari saluran irigasi dan saluran pembuang agar bisa masuk ke areal persawahan.

Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang, menyatakan, pemompaan terpaksa dilakukan karena hujan tak kunjung turun dan pasokan air irigasi masih kurang. Padahal, saat ini sudah memasuki pekan kedua Januari 2016.

Para petani khawatir, jika musim tanam rendeng tak segera dimulai, mereka tak bisa melakukan tanam gadu (musim kemarau). Pasalnya, mundurnya musim tanam rendeng akan membuat musim tanam gadu juga mundur dan terancam kekeringan. ''Jadi, walau air saat ini masih kurang, petani memaksa untuk memulai persemaian meski harus menggunakan pompanisasi,'' terang Sutatang.

Curah hujan yang mendadak berhenti di wilayah Jawa Tengah selatan bagian barat juga mengancam kelangsungan proses tanam petani di beberapa daerah. ''Banyak petani yang saat ini kebingungan memulai musim tanam. Benih sudah disebar tapi sawahnya kering kerontang karena tidak ada air,'' kata Ketua Kelompok Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Banyumas Dwiko Riyanto.

Dia menyebutkan, lahan sawah yang terancam kekeringan tersebar di beberapa lokasi yang baru mengolah lahannya pada awal Desember 2015 lalu. Sawah yang kesulitan air bukan hanya sawah tadah hujan, tetapi juga lahan sawah beririgasi teknis yang lokasinya cukup jauh dari sumber air.

Di Boyolali, Jawa Tengah, para petani daerah lahan tadah hujan juga khawatir menghadapi musim tanam tahun ini. Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan (Distanhutbun) Kabupaten Boyolali, Bambang Purwadi, mengakui fenomena alam memicu kekhawatiran itu.

Menurut Bambang, curah hujan relatif rendah pada musim hujan ini diakibatkan suhu panas Samudra Hindia. Jika kondisi ini terus berjalan, tanaman padi di daerah tadah hujan akan rawan kekeringan. Padahal, luas areal tanaman padi lahan tadah hujan di Kabupaten Boyolali mencapai puluhan ribu hektare. Luas lahan padi di daerah tadah hujan sebanyak itu berada di wilayah Kabupaten Boyolali bagian Utara. n eko widiyatno/edy setyoko ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement