Rabu 13 Jan 2016 15:00 WIB

Cerita Jaksa Yudi tentang Senioritas di KPK

Red:

Mantan jaksa KPK, Yudi Kristiana, duduk santai saat ditemui di kantor barunya di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Ia tampak memakai seragam korps Adhyaksa berwarna cokelat tua, lengkap dengan pangkat dan bet nama "YUDI" yang membuatnya berbeda dengan penampilan sebelumnya di KPK.

Sendirian tanpa aktivitas berarti di ruangan sekitar sekitar 5 x 6 meter tampak bertolak belakang dengan cubical kecil penuh berkas di KPK. "Ya, beginilah, Mbak. Ini hari pertama saya bertugas. Seragam juga baru dipakai hari ini. Kemarin dikasih sepatu tapi kaki saya malah lecet, jadi saya pakai sepatu sendiri. Gelas pun di sini tidak ada. Saya minta maaf tidak bisa menyediakan minum," kata Yudi pada Senin (11/1) siang.

Pria kelahiran Karanganyar, Solo, 15 Oktober 1971, itu kemudian mengeluarkan buku tulisannya berjudul "Sayonara KPK". Buku yang ditulis kilat sejak ia mengetahui akan dipindah menjadi kepala Bidang Penyelenggara Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Balitbang Kejakgung pada pertengahan Desember 2015. "Belum beredar di toko buku, mungkin sebulan lagi baru ada," tambah Yudi.

Buku itu memilih sampul merah sesuai dengan warna dominan KPK dan wajahnya di depan. Ia menulis buku sebagai bentuk pemeliharaan tradisi akademis sekaligus menjadi kenangan indah bagi rekan-rekannya di KPK maupun media.

Sejumlah pesan disampaikan Yudi dalam bukunya. Salah satunya, ia menyayangkan masih dijumpai pemikiran segelintir orang di KPK yang masih mempertahankan karakter birokrasi yang konvensional, yaitu penentuan tingkat kompetensi dalam bayang-bayang senioritas.

Hal itu, menurut Yudi, adalah gejala patologi (penyakit) birokrasi. Padahal, patologi birokrasi berupa senioritas menjadi salah satu sebab lembaga penegak hukum tidak bisa bekerja dengan baik meski ada ketersediaan sumber daya manusia dan sarana-prasarana.

Menurut Yudi, KPK harus diisi dengan orang-orang yang mau mengakui dan menghargai kelebihan orang lain. "KPK harus diisi orang-orang yang independen, punya daya kreativitas tinggi, pemikiran hukumnya dinamis bahkan progresif. Bila KPK hanya diisi oleh orang-orang yang loyal dengan senioritas, maka KPK hanya akan mampu mengungkap korupsi kelas teri dan mengikuti desain kekuasaan politik," kata Yudi.

Yudi bergabung ke KPK sejak 12 September 2011 bersama-sama dengan 22 orang jaksa yang dikenal dengan angkatan 12 September. Selama empat tahun tiga bulan, Yudi sudah menyidangkan lebih dari 20 perkara dan 3 penyidikan, beberapa di antaranya juga diikutkan dalam tahap penyelidikan, termasuk operasi tangkap tangan (OTT).

Perkara Yudi pada akhir-akhir masanya di KPK adalah suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan yang dilakukan oleh pengacara senior Otto Cornelis Kaligis. Perkara ini menantang karena Kaligis tidak hanya memperjuangkan haknya melalui prosedur hukum acara tetapi juga setiap tindakan hukum yang dilakukan KPK sehingga perilakunya cenderung merepotkan.

Kasus yang masih terkait dengan itu adalah kasus penerimaan suap mantan sekretaris jenderal DPP Partai Nasdem Patrice Rio Capella sebesar Rp 200 juta dari Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya.

"Perkara ini adalah perkara yang paling sederhana, paling cepat penyidikannya, paling cepat penyerahan tahap II, perkara paling cepat penyusunan dakwaannya, perkara paling cepat pelimpahannya ke pengadilan, perkara paling cepat persidangannya, perkara yang terdakwanya mengaku terus-terang sekaligus menyesali perbuatan, dan paling penting perkara terakhir yang ditangani penulis," jelas Yudi.

Namun, penanganan kasus inilah yang disebut-sebut banyak pihak membuat Yudi harus dimutasi kembali ke kejaksaan. Yudi mengetahui perihal kepindahannya tersebut dari pesan Whatsapp salah seorang temannya pada 14 November 2015 karena namanya dimintakan clearance pertanda akan dikeluarkan surat keputusan (SK) baru. Padahal, ia sama sekali tidak mengira akan ditarik.

Akhirnya, Yudi pun harus bekerja di jalur lain pemberantasan korupsi. Namun, ia tidak lupa tetap menyusun strategi menuju cita-cita yang lebih tinggi.

Seperti yang disampaikan oleh seorang rekan satu angkatannya di KPK sebagai pesan ke Yudi, "Tetap semangat, roda berputar, dan jangan lupa membuat gerbong". n antara ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement