Jumat 08 Jan 2016 18:57 WIB

KH Dr Zakky Mubarok: Tantangan Berumah Tangga Semakin Kompleks

Red:

Maraknya kasus perceraian yang terjadi dalam kurun lima tahun terakhir mengisyaratkan sedemikian kompleksnya tantangan dalam berumah tangga. Memang perceraian adalah perkara halal, namun perkara ini sekaligus menjadi yang paling dibenci Allah SWT. Ikatan suci pernikahan merupakan ikatan sakral yang disebut mitsaqan ghalizha yang tidak tak bisa seenaknya untuk diurai.

Rais Syuriah PBNU, KH Dr Zakky Mubarok mengatakan, saat ini banyak sekali faktor yang menyebabkan perceraian. Faktor ini mungkin tak pernah ada di zaman dahulu, tetapi menjadi problema di zaman sekarang.

Seperti prinsip kebebasan, akses informasi melalu media sosial, gaya hidup hedonis, serta emansipasi kaum wanita yang ingin berkarir di luar rumah. Jika tidak bijak menyikapinya, faktor-faktor terserbut bisa membawa petaka yang berujung pada perceraian. Simak wawancara selengkapnya dengan wartawan Republika, Hannan Putra berikut ini.

Angka perceraian dilaporkan meningkat, apa saja kemungkinan faktornya?

Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula fenomena baru di masyarakat. Dulu kaum wanita mungkin bisa diistilahkan mengurus dapur, kasur, dan sumur. Sekarang ini kaum wanita juga tak ketinggalan dengan kaum laki-laki dalam berkarir dan berpenghasilan. Bahkan tak jarang penghasilan istri yang lebih tinggi dari suaminya.

Seharusnya ini adalah hal yang patut disyukuri. Namun pada kenyataannya di masyarakat, sering sekali terjadi ketidak-harmonisan dalam rumah tangga gara-gara tidak bijak dalam menyikapi hal ini. Si istri merasa dirinya lebih baik bahkan tak jarang menganggap suami lebih rendah.

Kalau kita lihat dari kasus-kasus perceraian, secara umum kebanyakan faktornya ini. Suami-istri tidak bijak dalam mengatur keuangan rumah tangga. Suami merasa direndahkan karena nafkah yang ia berikan tak bernilai apa-apa dari penghasilan istri. Sementara istri merasa mandiri dan tak terlalu bergantung dengan suami. Akhirnya Hal seperti ini bisa merujung pada perceraian.

Faktor selanjutnya, seiring terbukanya era digital dan teknologi yang bisa dengan gampang diakses siapapun. Suami-istri yang tak bijak memanfaatkan teknologi ini bisa membawa petaka. Mungkin ada masalah di rumah tangga, kemudian mencari pelarian di media sosial.

Banyak kasus perselingkuhan dimulai dari media sosial. Suami ataupun istri dengan sangat mudah mengundang pihak ketiga melalui media sosial.

Faktor ketiga, banyak sekali kalangan suami-istri yang belum punya pengetahuan yang baik tentang rumah tangga. Banyak juga yang berpemahaman seolah-olah kehidupan rumah tangga itu masih seperti dulu. Padahal dengan perkembangan zaman, tantangan dan masalah yang dihadapi rumah tangga kian kompleks.

Keempat, maraknya ekspos tentang perceraian. Bisa kita lihat di pemberitaan baik di televisi, internet, atau tabloid surat kabar. Isu perceraian selebritas dikupas sedemikian vulgar. Jika masyarakat terbiasa dengan informasi seperti ini, mereka akan menganggap ringan kasus perceraian.

Terakhir, paradigma kebebasan yang sekarang ini terlalu berlebihan. Apapun yang dilakukan orang sekarang ini tak ada lagi faktor yang mengigat. Kalau dulu, keluarga yang bercerai masih memikirkan dampak negatif dari pandangan masyarakat. Kalau sekarang, tak ada lagi rasa canggung atau kepedulian terhadap pandangan masyarakat.

Apa saja bekal yang harus ditambah sebelum pernikahan?

Pertama sekali adalah pengetahuan agama yang baik. Suami menyadari bahwa anak dan istrinya adalah amanah yang dititipkan Allah SWT kepadanya. Di samping itu, istri adalah amanah dari mertuanya yang telah mempercayakan putrinya kepadanya. Jadi harus ia jaga dengan sebaik-baiknya.

Suami-istri harus memahami dengan baik apa hak dan kewajiban masing-masing. Kemudian pola komunikasi yang makruf. Mereka perlu mengenali bagaimana rumah tangga yang dibina Rasulullah SAW. Lihatlah bagaimana kelembutan dan rasa kasih sayang yang ditauladankan Rasulullah SAW kepada istri-istrinya. Rasulullah SAW juga tak segan membantu urusan rumah tangga jika istrinya sedang kerepotan.

Ketika ada pemahaman agama dan pengetahuan untuk membina keluarga sakinah itu dimiliki suami-istri, ketika ada masalah mereka akan bisa menyikapinya dengan bijak. Misalkan, soal urusan penghasilan. Kalau memang istri bekerja dan ternyata penghasilannya jauh melebihi suami, itu disyukuri.

Ketika istri punya penghasilan lebih tinggi dari suami, ia sadar bahwa ia bisa bekerja itu juga karena izin suami. Penghasilan tinggi tak membuatnya angkuh dan tetap hormat serta menaati suaminya.

Apa benar cara pandang agama mulai dipinggirkan dalam rumah tangga?

Kalau kita melihat fenomena, memang ajaran-ajaran agama sudah banyak ditinggalkan dalam kehidupan rumah tangga. Coba saja perhatikan, berapa banyak keluarga yang menghidupkan shalat berjamaah atau bertilawah Alquran bersama-sama. Berapa banyak keluarga yang punya agenda rutin setiap hari untuk mengaji, berdiskusi agama, dan sebagainya. Ini sedikit sekali.

Jangankan itu, untuk berkumpul bersama anggota keluarga seperti makan malam, liburan keluarga, atau quality time dengan keluarga saja, itu sudah jarang. Sehingga ketika jarang berkomunikasi, hati mereka juga jarang.

Pembekalan dari KUA yang terkesan formalitas dan singkat sudahkah cukup?

Memang kalau hanya mengandalkan pembekalan yang diberikan KUA itu sangat kurang. Apalah artinya pembekalan satu-dua jam di waktu skrening dibanding kompleksitas persoalan rumah tangga sekarang ini. Apalagi hanya mengandalkan khutbah nikah atau taushiyah nikah yang durasinya hanya setengah jam.

Calon suami-istri pra-nikah harus menambah wawasan mereka melalui seminar, membaca buku, atau berdiskusi dengan orang alim. Orang tua juga perlu mengarahkan putra-putrinya melalui pengalaman berumah tangga yang dilaluinya.

Pasca-nikah, pasangan yang baru menikah juga jangan dilepas begitu saja oleh orang tua. Ada pengontrolan serta arahan-arahan. Pasangan yang baru menikah tentu akan mendapati banyak masalah. Entah ketidak-cocokan, hingga masalah-masalah yang ringan. Rumah tangga mereka perlu pendampingan dari orang tua yang sudah melalui manis-asam rumah tangga.

Apa saja peran ulama untuk meminimalisir fenomena perceraian?

Para ulama harus mengefektifkan dakwahnya. Kajian-kajian seputar pernikahan dan parenting perlu diperbanyak. Perlu juga banyak seminar tentang keluarga harmonis. Sehingga umat punya bekal yang cukup untuk membawa keluarganya ke surga.

Yang terlebih penting bagi ulama yang terlibat di Kantor Urusan Agama atau Majelis Ulama. Mereka tentu lebih mempunyai peran besar dalam mencegah perceraian. Kasus perceraian perlu pengkajian lebih dalam. Sedapat mungkin mereka bisa mengishlah atau menyelamatkan suami-istri yang akan bercerai. n ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement