Ahad 03 Jan 2016 13:00 WIB

MODERASI ISLAM di Tengah Retorika Anti-Muslim AS

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,MODERASI ISLAM di Tengah Retorika Anti-Muslim AS

Muslim AS didominasi kalangan moderat. 

Islamofobia bukan hal baru bagi Muslim Amerika. Hal itu turut dipengaruhi oleh pandangan Muslim terhadap Amerika dan sebaliknya, Amerika terhadap Muslim. Ba- gi sebagian Muslim, Amerika se la lu dipandang sebagai biang segala permasalahan. 

Sementara, survei Pew Research tahun 2014 mencatat, pandangan Amerika terhadap Muslim berada di posisi medium. Dari kisaran nol untuk paling negatif sampai 100 untuk angka paling positif, pandangan terhadap Islam memiliki skor 40. Meski, dengan meningkatnya tensi Islamofobia belakangan ini, ada kemungkinan skor itu makin rendah.

Pascaserangan teror di Paris dan San Bernardino, suara anti-Islam telah naik dalam wacana politik Amerika, sebagaimana dibuktikan oleh usulan terakhir calon pre?

siden Donald Trump. Calon presiden dari Partai Republik itu berwacana melarang setiap Muslim memasuki AS.

Dilansir dari BBC, kendati Trump tidak memiliki kekuatan untuk memberlakukan larangan itu, umat Islam di sana mengatakan, retorika tersebut memiliki dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari.

 
Pertengahan Desember lalu, misalnya, satu keluarga Muslim asal Inggris mengalami penolakan di bandara ketika hendak terbang berlibur ke Amerika. Aksi pelecehan terhadap Muslimah berjilbab pun turut meningkat, yang kemudian memunculkan banyak aksi solidaritas dari perempuan Amerika.

\"Saya sudah mengalami ini selama pu luhan tahun, tapi saya belum pernah melihat ketakutan setingkat ini di dalam komunitas Muslim Amerika,\" ujar Ibrahim Cooper, Direktur Hubungan Nasional Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR). \"Orang- orang benar-benar bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada mereka,\" kata Cooper melanjutkan.

Tak hanya personal, ketika intensitas Islamofobia tengah meningkat, masjid tak luput menjadi sasaran. Setelah insiden Paris, disusul penembakan San Bernardino, ketegangan makin menjadi akibat retorika anti-Muslim Donald Trump.

Menurut CAIR, organisasi advokasi dan hak-hak sipil Muslim terbesar di Amerika pekan lalu merilis laporan angka-angka insiden yang menargetkan masjid Amerika dan lembaga-lembaga keagamaan pada 2015. 

Jumlah insiden yang menargetkan masjid di AS tercatat mengalami peningkatan paling tinggi tahun ini, sepanjang data yang pernah terekam.

Dilansir dari situs resmi CAIR, medio terakhir 2015 mencatatkan peningkatan paling signifikan. Dari total 71 insiden pada 2015, 29 di antaranya terjadi pascaserangan 13 November di Paris. Dari jumlah itu, 15 insiden terjadi sebelum penembakan San Bernardino, sedangkan 14 lainnya terjadi setelah serangan. Tahun 2015 menyumbang angka tertinggi, baik dalam kategori DDV (damage, destruction, vandalism) atau in ti midasi. Lonjakan paling signifikan terjadi pada November dengan total insiden sebanyak 15 kali.

Laporan itu menganalisis, penyebab tingginya angka perusakan masjid ti dak hanya lantaran pecahnya aksi terorisme, tetapi juga karena Islam menjadi isu sentral dalam kampanye presiden pada November 2015. Siklus yang sama teramati pada 2010 ke tika kontroversi atas Park 51 Islamic Cultural Center menjadi isu kampanye pemilu.

Pada 2014, insiden yang menargetkan masjid tercatat 20 kasus, 2013 sebanyak 23 kasus, sedangkan 2012 sebanyak 29 kasus. Angka rata-rata tiap tahun tak jauh- jauh dari 20 insiden. Seolah siklus berpola, angka kembali tinggi pada 2010 ketika negara itu menggelar kampanye pemilihan presiden.

 
\"Ini menguatkan argumen bahwa tingkat sentimen anti-Muslim mengikuti tren dalam politik domestik AS, bukan aksi terorisme internasional,\" tulis CAIR dalam laporan tersebut.

Tentu saja angka yang tercatat ini sangat mungkin lebih kecil dari angka sebenarnya. 

Banyak tokoh setempat tidak melaporkan insiden, baik kepada CAIR maupun pene gak hukum. CAIR membagi tindakan Islamo fobia terhadap masjid dalam beberapa ka tegori, yaitu DDV (damage-destruction-vandalism), pelecehan, intimidasi, dan zonasi. 

DDV adalah insiden yang melibatkan ke rusakan properti. Pelecehan adalah demonstrasi yang melibatkan penghinaan Islamofobia. Intimidasi adalah ancaman ke kerasan, sedangkan zonasi berupa oposisi dari kelompok lain terkait lahan. Dari keempat kategori itu, sebanyak 29 kasus terkategori DDV, 8 pelecehan, 29 intimidasi, dan 5 kasus zonasi.

Tindakan perusakan atau intimidasi yang dilakukan beragam. 

Desember ini saja misalnya, sebuah kepala babi ditinggalkan di luar al- Aqsa Islamic Society, Phi ladelphia. 

Islamic Center Palm Beach di Florida dirusak, jendela dipecahkan, sementara ruang shalat koyak moyak. 

Moderat Muslim Amerika merupakan sebuah komunitas heterogen. Mayoritas Muslim Amerika berstatus imigran yang berasal lebih dari 68 negara. Menurut survei tahun 2011, populasi Muslim Amerika berkisar 2,75 juta jiwa. Dinamika politik di Amerika sejak peristiwa 9/11 telah membawa perhatian baru bagi komunitas ini.

Hal itu mengakibatkan perubahan kebijakan yang sangat berpengaruh bagi populasi Muslim Amerika. Terlepas dari sejumlah kebijakan yang kadang merugikan, komunitas Muslim Amerika telah terbukti tangguh. Mereka mampu mengatasi tantangan dengan kombinasi advokasi politik nasional yang cerdas, aktivisme akar rumput, dan dialog antarkomunitas.

Dilansir dari euro-islam, berbagai organisasi telah dibentuk untuk mempromosikan kepentingan politik, sosial, dan keagamaan komunitas Muslim Amerika. Lanskap organisasi-organisasi Islam berubah me nyusul 9/11, yang ditandai dengan pe ningkatan dalam hal jumlah organisasi Muslim dan kegiatan advokasi. 

Sebuah artikel dari Huffington Post menambahkan, Muslim Amerika tidak hanya mampu mengintegrasikan diri ke tengah masyarakat AS, tetapi juga lebih menentang kekerasan dan lebih toleran dalam banyak hal dibandingkan kebanyakan orang Amerika lain. Sama sekali jauh dari sikap sektarian, Pew Research Center menemukan 93 persen dari Muslim Amerika memiliki teman dekat non-Muslim. Sebanyak 92 persen Muslim AS tidak menentang wanita bekerja di luar rumah.

Pada 2010, menurut sebuah survei yang diadakan lembaga riset Gallup, Muslim Amerika adalah satu-satunya kelompok agama yang menentang tindakan pembunuhan warga sipil oleh militer. 

Muslim Amerika juga paling keras menolak pembunuhan atau tindakan kekerasan yang menargetkan satu kelompok minoritas tertentu. 

\"Menutup masjid dan melarang umat Islam tidak akan membuat Amerika lebih aman. Daripada memperlakukan mereka sebagai musuh, Amerika harus melihat Muslim Amerika sebagai sekutu dalam per juangan kita untuk kebebasan dan perdamaian,\" tulis David Bier dan Matthew La Corte dari Niskanen Center. (c38, ed: nashih nashrullah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement