UU Perlindungan Anak Diragukan, Ini Jawaban DPR

Selasa , 06 Oct 2015, 13:32 WIB
Kampanye perlindungan anak dari Kekerasan seksual.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kampanye perlindungan anak dari Kekerasan seksual.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walau baru saja direvisi tahun lalu, sejumlah kalangan mempertanyakan kembali seberapa jauh Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) bisa menjadi payung kokoh bagi perlindungan anak-anak Indonesia. Tidak sedikit kalangan yang seolah patah arang terhadap penerapan UU tersebut di lapangan.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan sejumlah UUPA menuntut perubahan paradigma kerja lembaga terkait dan itu belum terealisasi. "Seperti dalam kejahatan terhadap anak, dimana pengakuan anak merupakan satu barang bukti," ujarnya, Selasa (6/10). Polisi masih kerap menyamakan kejahatan terhadap anak dengan kejahatan lainnya sehingga pengakuan anak cenderung diabaikan.

UUPA, kata Sara, membutuhkan adanya sistem perlindungan anak. Tapi hingga kini belum ada sistem tersebut. Akibatnya, langkah-langkah perlindungan anak pun terlihat sporadis dan tidak terintegrasi satu sama lain. Bahkan hingga saat ini masih ada perbedaan pemahaman tentang tupoksi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai salah satu lembaga yang mendapat penekanan ekstra di dalam UUPA.

"Sebetulnya KPAI lebih sebagai lembaga pengawasan dan koordinator, bukan lembaga eksekuto" ucapnya.

Salah kaprah terhadap KPAI pada gilirannya bisa memunculkan ekspektasi-ekspektasi yang tidak proporsional sehingga tolak ukur keberhasilan kerja KPAI pun menjadi bias. Saat ini masalah perlindungan anak masih cenderung dipandang sebagai isu domestik, bukan kepentingan publik. Akibatnya, sistem peringatan dini yang semestinya bisa dibangun sebagai bentuk resiliensi masyarakat tidak berjalan efektif.

"Karena ada keengganan untuk ikut campur dalam masalah keluarga lain," ujar Sara.