Rabu 26 Aug 2015 14:00 WIB

KPK Diminta Berani Miskinkan Koruptor

Red:

JAKARTA - Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK pada Selasa (25/8) melanjutkan tes wawancara terhadap tujuh capim. Anggota pansel, Yenti Garnasih, menantang capim yang kini menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi SP menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam penanganan kasus korupsi. Tujuannya untuk menyita harta koruptor.

Yenti menilai pasal TPPU seharusnya lebih dikedepankan dalam memberi sangkaan kepada tersangka korupsi. "Ketika KPK menangani korupsi, kenapa tidak pada TPPU dulu? Padahal, filosofinya TPPU disangkakan justru lebih optimal. Kenapa tidak digunakan sejak awal sampai tersangka TPPU pasif? Berani?" tanya Yenti, kepada Johan.

Johan menjawab, KPK berani menerapkan pasal-pasal TPPU pada kasus korupsi. Mengenai tersangka TPPU bersifat pasif, Johan menyebut tersangka harus memenuhi pasal yang diatur dalam Undang-Undang TPPU. "Sekarang ini deterrent effect dengan TPPU. Belakangan ini banyak tersangka di KPK yang disangkakan dengan TPPU. Saya yakin KPK berani," kata Johan.

Yenti pun menanyakan soal adanya tersangka korupsi yang meninggal dunia tetapi masih dilacak asetnya. Johan menimpali bahwa nantinya urusan itu akan masuk ke ranah perdata. "Kalau sudah masuk proses peradilan, tergantung putusan hakimnya. Kemudian, kita serahkan ke perdata, ke Kejaksaan Agung," ujarnya.

Capim yang juga Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie juga setuju atas penggunaan pasal-pasal TPPU dalam kasus korupsi. Dengan menjerat pelaku korupsi dengan UU TPPU, kata Jimly, ancaman hukuman mati terhadap koruptor pun tidak diperlukan.  "Kalau koruptor, saya rasa tidak perlu (hukuman mati). Malah saat ini korupsi kan sudah ada korupsi TPPU, rampas harta," ucap Jimly.

Anggota pansel, Harkristuti Harkrisnowo, sempat menanyakan mengenai pasal hukuman mati untuk koruptor yang sempat diuji semasa Jimly menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK).  "Melihat putusan Anda di MK soal hukuman mati, apakah layak hukuman itu untuk koruptor? tanya Harkristuti. Menurut Jimly, hukuman mati tidak sesuai dengan Pancasila, tentang kemanusiaan yang adil dan beradab.

Seyogiyanya, kata Jimly, Indonesia harus mengurangi hukuman mati, bukan justru terus menambah terpidana mati. Sehingga, saat ini perspektif korupsi bergeser dari individu  ke harta. "Maka perspektif uang kekayaan negara harus lebih ditonjolkan. Sanksi juga harus lebih diarahkan ke sana," tuturnya.

Selain penerapan UU TPPU, strategi Jimly jika terpilih menjadi pimpinan KPK adalah memperbaiki hubungan antarlembaga penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian. Jimly menilai, selama ini KPK terkesan bekerja sendirian dalam upaya penindakan korupsi.

Selain itu, pencegahan pemberantasan korupsi akan ia ke depankan dengan cara menerapkan kurikulum antikorupsi mulai dari generasi muda. "Bikin kurikulum bagus yang diterapkan dari TK, hasilnya satu abad atau generasi."

Laode Muhammad Syarif menginginkan KPK juga berfokus kepada pencegahan dan penindakan korupsi di sektor sumber daya alam dan perpajakan. Capim KPK yang merupakan dosen Fakultas Hukum di Universitas Hasanuddin itu melihat korupsi di dua sektor itu masih kurang digarap oleh penegak hukum. "Kedua sektor itu sangat penting dan sesuai dengan fokus yang diberikan Presiden Joko Widodo dan Ditjen Pajak," kata Laode.

Adapun capim Mayjen (Purn) Hendardji Soepandji menegaskan, pemberantasan korupsi tak sekadar taktik dan teknik. Menurut Hendardji, strategi jangka pendek dan jangka panjang juga perlu dilakukan untuk memberantas korupsi.

Anggota pansel KPK Harkristuti Harkrisnowo menanyakan perihal implementasi strategi militer yang bisa digunakan di dalam KPK oleh Hendardji. Menurut Hendardji, strategi itu dapat diterapkan bila ada kerja sama dari seluruh elemen bangsa. "Strategi pertama kali memang diterapkan di militer. Tak mungkin diberantas dengan serta-merta korupsi itu. Perlu strategi dan kerja sama seluruh elemen bangsa," ujar Hendardji.

Indonesia Corruption Watch menilai Pansel Capim KPK tidak maksimal dalam mewawancarai para capim. Menurut ICW, seharusnya pansel KPK menggali lebih dalam pemikiran dan pengetahuan capim atas pemberantasan korupsi di Indonesia. "Kami mengapresiasi langkah pansel yang menyelenggarakan wawancara calon secara terbuka. Namun, dirasakan pansel belum cukup memaksimalkan wawancara tersebut," kata Koordinator Investigasi ICW Febri Hendri, saat dihubungi, Selasa (25/8).

Febri menilai hasil wawancara pansel atas capim KPK belum memenuhi hak publik untuk tahu lebih banyak tentang pandangan calon terkait isu-isu kritis yang dihadapi KPK ataupun rekam jejak dari calon yang sedang diuji. Isu-isu kritis tersebut, lanjut Febri, terkait dengan ganjalan pemberantasan korupsi yang dihadapi KPK, seperti pelimpahan perkara KPK ke kepolisian, kewenangan penyidikan, dan penuntutan KPK maupun persaingan antarpenegak hukum.

n c20/c07 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement